Ilustrasi/NET |
Oleh: Dr. Muhamad Basyrul Muvid, M.Pd*
Jurnalistiwa.com - Toleransi sebagai sikap terbuka menerima perbedaan yang ada, perbedaan yang sudah menjadi sebuah keniscayaan seringkali memicu terjadinya konflik antar personal, kelompok, bahkan agama (lintas agama). Sikap terbuka masyarakat kadang ditutupi oleh fanatisme yang berlebih dan paradigma yang kaku, fanatisme yang berlebih memicu rasa percaya diri bahwa kelompok-nya yang hebat, suci, dan paling benar, sedangkan yang lain salah dan lain sebagainya. Perbedaan keyakinan sebagai proses demokrasi dalam pemilihan agama yang semuanya tidak dilandasi paksaan maupun ancaman. Masing-masing agama memberikan kebebasan dalam memilih dan semua agama menyarankan bahkan mewajibkan satu agama menghargai agama lainnya tanpa mempertimbangkan atau menilai tentang legalitas agama lainnya.
Toleransi sebagai langkah membuka wawasan untuk melihat secara mendalam dan luas akan perbedaan yang ada. Salah satu usaha dalam membumikan toleransi ialah dengan penerapan atau memahami pendidikan interreligius. Pendidikan interreligius memberikan penekanan terhadap bagaimana bersikap dewasa terhadap dinamika keagamaan yang ada, artinya keyakinan yang berbeda menjadi dinamika yang harus diterima dan dijalankan sesuai kemantapan hati masing-masing penganut tanpa mengusik keyakinan saudaranya. Pendidikan interrelgius hadir untuk mempersatukan kekuatan nilai-nilai kemanusiaan di tengah perbedaan agama yang ada, bukan mempersatukan agama menjadi satu dengan menukar atau menihilkan agama lain.
Pendidikan interreligius merupakan proses membina dan melakukan pemahaman masyarakat untuk terbuka dan tidak fanatik terhadap keyakinan yang dianut, hal tersebut untuk membuk ruang diskusi dan toleransi sehingga bisa terajut kehidupan yang saling berdampingan (Muhammad & Imronuddin, 2022). Dalam kajian Hariyadi & Imronuddin (2021) bahwa pendidikan interreligius dalam Al-Qur’an sebagai pendidikan yang mendorong masyarakat atau umat untuk berwawasan moderat, terbuka, dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan universal, sebagaimana visi-misi Islam menjadi agama penengah atau penyayang untuk semesta alam. Penjelasan tersebut mengambarkan bahwa pendidikan interreligius berusaha membuka cakrawala pemikiran umat; masyarakat untuk lebih dewasa dan menyikapi dengan baik adanya agama lain sebagaimana Allah sendiri dalam firman-Nya (QS. Al Kafirun: 1-6; QS. Al-Mutahanah: 8-9, QS. Al-Hujurat: 13).
Upaya dalam membuka luas pemikiran masyarakat melalui pendidikan interreligius dapat memberikan efek positif dalam kehidupan manusia dalam bersosial dan berdampingan. Indonesia sebagai negara yang majemuk memerlukan konsep atau model pendidikan yang demikian, paradigma terbuka dan semangat persatuan di tengah perbedaan menjadi kunci suksesi terhadap kehidupan yang harmonis. Untuk itu, pendidikan interreligius secara langsung membangun sikap toleransi masyarakat dan membendung sikap fanatisme atau fanatisme tanpa dasar yang tepat.
Toleransi perlu diperluas maknanya, yakni tidak hanya berhenti pada level menghargai-menghormati, namun juga menyayangi sebagai sesama ciptaan Allah meskipun ibadahnya beda atau keyakinannya beda. Rasa kasih sayang kepada semua manusia dengan latarbelakang yang berbeda ialah nilai atau level toleransi yang tertinggi, karena tidak hanya sebatas mempersilahkan beribadah sesuai agama, namun menjaga, melindungi dan membantunya apabila kesusahan, terkena musibah dan menjaga dalam arti ialah menjunjung tinggi rasa aman, hak, kehidupan dan jiwanya dari segala gangguan. Artinya, toleransi tidak hanya berhenti pada sikap mempersilahkan secara sukarela, tetapi menjamin hak-hak mereka untuk hidup dan mengasihinya.
Dengan demikian, besar harapannya kehidupan global khususnya di Indonesia bisa senantiasa damai, sejahtera, rukun dan bersatu di setiap saat tanpa mempermasalahkan kembali segala perbedaan yang ada.
*Dosen Universitas Dinamika Surabaya
Posting Komentar