KtHx54QkBr383xDR2xK8jWF4FPsDN0wkvFCwXh9V
Bookmark

Belajar Toleransi dari Lampung: Masjid dan Gereja Berdampingan

 
Oleh: Isa Saburai (@isa_saburai)

Berbicara tentang sebuah toleransi rumah ibadah yang ada di Indonesia, sebetulnya sudah tidak asing dan tidak tabu lagi. Seperti Masjid Taqwa di Tanjung Karang Lampung yang berdampingan dengan Gereja Katedral Tanjung Karang Lampung. Kedua tempat ibadah ini sudah berdiri sejak lama dan terletak di Gn. Sari, Kec. Tanjung Karang Pusat, Kota Bandar Lampung.

Jika membaca literatur yang ada, Masjid Taqwa ini dulunya adalah bangunan panggung berdinding papan yang berdiri pada tahun 1950, tetapi sekarang sudah di renovasi bertahap dari  tahun 1983-2010. Masjid ini memiliki dua lantai; lantai pertama digunakan untuk salat lima waktu secara berjamaah dan lantai kedua digunakan untuk salat Jumat dan kegiatan keagamaan lainnya. Bangunan masjid ini menggunakan arsitektur rumah tradisional Sumatera Selatan dan didominasi dengan warna hijau muda.

Masjid Taqwa Tanjung Karang ini juga memiliki usaha koperasi yang diberi nama Koperasi Masjid Taqwa yang sudah mendapatkan surat izin operasional dengan nomor 62/BH/KDK.7.4/VII/II/99. Tidak hanya itu, Masjid Taqwa juga mempunyai Balai Pengobatan Taqwa, Perguruan Diniyah Taqwa, dan juga Taman Kanak-Kanak Taqwa. Sehingga tidak heran jika kita berkunjung ke sana akan sangat ramai anak-anak, orang dewasa, dan orang tua pria ataupun wanita.

Sedangkan Gereja Katedral berdiri pada tahun 1928 yang berbentuk bangunan sudut, tetapi tidak tahu pasti kapan Gereja Katedral ini mengalami renovasi karena tidak ditemukan sumber yang akurat. Bangunan ini mengarah ke Barat dan pintunya berada di sisi Selatan, tepatnya di sudut Barat Daya dengan model dua pintu kaca. Susunan atap ini adalah atap pelana dengan bagian atap di sudut jalan dibuat dengan bentuk perisai. Sehingga para sejarawan mengatakan bahwa bangunan ini salah satu ciri khas peninggalan kolonial pada abad ke-20.

Selain bangunan masjid dan gereja yang berdampingan, toleransi antar/intra umat beragama di sini juga sangat kental, lho. Itu semua dibuktikan ketika Gereja Katedral Tanjung Karang sedang memiliki acara hari kebaktian, entah itu di Hari Natal atau Paskah, warga Masjid Taqwa turut membantu dalam hal parkir dan ketertiban lalu lintas. Begitu sebaliknya, jika Masjid Taqwa memiliki acara, entah itu Idulfitri, Iduladha, atau acara yang melibatkan jamaah maka warga Gereja Katedral ikut membantu parkir dan ketertiban lalu lintas.

Sangat indah dan menentramkan jiwa, bukan? Beda agama dan kepercayaan, tetapi toleransi itu masih melekat kuat dan ada. Begitulah yang diajarkan oleh para pahlawan kita dulu dalam memperjuangkan kemerdekaan. Saling bekerja sama satu sama lain, tanpa melihat suku, bahasa, dan agama. Sehingga kemerdekaan bisa diraih karena tidak adanya perdebatan dalam bekerja sama atau saling menjatuhkan.

Berbicara tentang toleransi, saya pernah membaca buku karya Abdurrahman Wahid yang berjudul Muslim di Tengah Pergumulan Berbagai Pandangan Abdurrahman Wahid. Di dalam buku ini, Abdurrahman Wahid atau sering disapa Gus Dur berpendapat bahwa untuk menciptakan kehidupan beragama, tidak hanya saling menghormati atau saling toleran saja, tetapi harus dilandasi oleh rasa saling pengertian yang tulus dan berkesinambungan, serta rasa memiliki dalam kehidupan manusia “ukhuwah basyariyah”.

Nah, itulah yang sudah dimiliki oleh warga Masjid Taqwa dan warga Gereja Katedral Tanjung Karang Lampung. Walaupun pernah ada peraturan Kementerian Agama terkait penggunaan pengeras suara yang sudah tertuang di Surat Edaran Menteri Agama No. SE, 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Namun, hal itu tidak melunturkan toleransi umat beragama di Tanjung Karang tersebut.

Manusia yang mampu menghargai perbedaan dan semakin luasnya ilmu pengetahuan yang dimiliki maka dia akan menerima semua itu dengan perdamaian. Habib Husein Ja’far Al-Hadar pernah berkata, “Muslim belum tentu Islam. Karena bisa jadi umat Islam tidak merepsentasikan nilai-nilai Islam itu sendiri.”

Ya, saya sangat setuju dengan apa yang diucapkan oleh Habib Husein Ja’far Al-Hadar di atas. Karena sekarang banyak orang Islam tidak mencerminkan nilai-nilai agama Islam, seperti tidak maunya toleransi dan mengkafirkan orang yang berbeda agama. Bahkan, menganggap agama yang dianutnya paling benar, padahal kebenaran yang sempurna hanya milik Allah Swt. Sang Maha Kuasa. Terkadang, orang yang anti akan toleransi kurang membaca sejarah Rasulullah saw. ketika berada di Madinah atau Mekah.

Mereka hanya fokus akan ibadah saja, tetapi melupakan bahwa Rasulullah saw. juga mengajarkan ilmu bersosialisasi dalam menyebarkan agama Islam tanpa menjatuhkan harga diri orang atau bahkan membunuhnya. Padahal, manusia adalah mahluk sosial yang membutuhkan bantuan manusia lain. Entah itu dari segi berdagang, bercocok tanam, pembangunan, pemerintahan, dan tenaga pengajar.

Kenapa bisa demikian? Karena tidak semua orang Islam bisa ilmu matematika dan begitu juga dengan orang non-Islam tidak semua bisa ilmu perikanan. Dari sini bisa kita tarik benang merahnya, bahwa gak perlulah kita saling menyalahkan atau merasa paling benar. Urusilah agamamu, beribadahlah sesuai keyakinanmu, tetapi jangan melupakan toleransi agar generasi bangsa yang akan datang bisa mencontoh generasi yang sekarang, seperti contoh kerukunan dan toleransi yang sudah dilakukan oleh warga Masjid Taqwa dan warga Gereja Katedral Tanjung Karang Lampung. (*)

Posting Komentar

Posting Komentar