Foto: Yusti Rizqiya Anugrah/Dok. Pribadi |
Oleh: Yusti Rizqiya Anugrah*
Jurnalistiwa.com - isu-isu yang bermunculan saat ini, memaksa seorang harus mengkaji dan menganalisis kebenaran dari apa yang didapat saat ini, agar tidak terjadinya suatu kesalahan dalam menanggapi isu-isu yang ada dalam beragama maupun bernegara, namun kebenaran saat ini ditutupi oleh sikap radikalisme yang mana membuat seorang harus mengikuti arus yang menjadikan mereka berfakus pada satu pendapat yang menutupi suatu kebenaran dari isu-isu yang ada.
Oleh sebab itu, perlu menindak lanjut segala hal yang menutupi kebenaran, jika sudah terjadi suatu wacana yang diselimuti dengan keradikalan maka ancamannya berbias kepada keutuhan ummat Islam sendiri baik secara khusus maupun umum yaitu bangsa Indonesia.
Kekhawatiran demi kekhawatiran sunggah sangat menjadi alasan untuk membuat suatu kesalahan yang terus menerus diulang tanpa di barengi dengan pembanding yang nantinya akan dianggap sebagai suatu kebenaran. Hal ini akan menghasilkan sikap dari berbagai kalangan untuk membuat kontra narasi ekstrimisme. Untuk mengatasi prolem ini generasi muda memiliki peran penting untuk menyebarluaskan nilai-nilai kebaikan serta membawa perubahan dari kebatilan menuju kebenaran.
Mahasiswa dan narasi kontra Ekstrimisme
Mahasiswa adalah kaum intelektual dalam masyarakat yang memiliki nilai tambah, selain itu mahasiswa juga memiliki tempat tersendiri dilingkungan masyarakatnya namun bukan berarti mahasiswa memisahkan diri dari masyarakat.
Mahasiswa memiliki peran sebagai harapan masyarakat yaitu agent of change, ide yang dimiliki seorang mahasiswa mampu merubah paradigma yang berkembang dalam sutau kelompok dan menjadikan suatu kepentingan berjalan searah.
Sebagai agen perubahan mahasiswa bertindah bukan hanya sebagai penggagas melainkan mengikut sertakan dirinya sebagai pelaku perubahan. Semakin banyak kita lihat kebodohan dan ketidakadilan dalam negara kita saat ini yang mana pemimpinnya sendiri sebagai objek tersebut.
Tugas mahasiswa saat ini berfikir bagaimana mengembalikan perubahan yang telah terjadi, namun sebelumnya mahasiswa perlu memperhatikan bahwa sebelum mengubah hal yang berkaitan dengan Negara, meraka perlu mengetahui apa yang harus mereka lakukan.
Banyak generasi muda yang hancur masa depannya ketika salah memilih jalan. Mereka terjebak dalam sikap radikal, eksklusif, membuat diri tidak berkembang dan hilangnya berbagai kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan damai sejahtera.
Generasi milenial yang demikian hanya akan menjadi masalah bagi dunia di sepuluh, duapuluh atau tigapuluh tahun ke depan. Begitupun pembacaan tantangan menjadi perlu untuk mengetahui tantangan apa saja yang dihadapi.
Keberadaan mahasiswa saat ini adalah menjadi kaum milenial yang mengikuti arus teknologi yang berkembang, dalam kondisi ini mahasiswa harus mampu menyaring segala informasi dan edukasi yang mereka dapatkan. Jaringan ideology telah menarik banyak perhatian, terkhususnya bagi kalangan muda seperti mahasiswa yang rentang terhadap idologi radikalisme.
Hal ini bisa saja terjadi sebab kelompok radikalisme meyakini bahwa pelajar bahkan mahasiswa merupakan kelompok masyarakat yang mengalami kerisis identitas dan perlu memberikan keyakinan identitas pada dirinya. Lalu apa yang harus dilakukan oleh mahasiswa penggerak yang berpedoman pada Ahlussunnah wal jama’ah terhadap fenomena yang tejadi saat ini, (Abbas, 1984) ketika ahama disalahgunakan untuk kepentinyan pribada maupun kelompok, yang mana awalnya agama adalah bentuk dari sebuah ketenangan, tetapi faktanya sekarang agama dijadikan tindakan yang tidak seharusnya, hanya semata-mata untuk kepentingan politik.
Mahasiswa sebagai ketahanan Moderasi Beragama
Konflik berbasis kekerasan di Indonesia seringkali berakhir menjadi bencana kemanusiaan yang cenderung berkembang dan meluas baik dari jenis maupun pelakunya. Hal ini yang menjadikan proses penanganan konflik membutuhkan waktu lama dengan kerugian sosial, ekonomi, dan politik yang luar biasa.
Berdasarkan masalah-masalah yang datang silih berganti ini, Indonesia bisa masuk dalam situasi darurat kompleks. Dalam melihat dan menyelesaikan satu persoalan, Islam moderat mencoba melakukan pendekatan kompromi, dalam menyikapi sebuah perbedaan dalam hal keyainan Islam moderat mengedepankan sikap toleransi, saling menghargai, dengan tetap meyakini kebenaran keyakinan masing-masing, sehingga semua dapat menerima keputusan dengan kepala dingin, tanpa harus terlibat dalam aksi yang anarkis. Maka dari itu moderasi dianggap sebagai jalan tengah dalam keberagaman di Indoneisa.
Sikap moderasi berupa pengakuan atas keberadaan pihak lain, pemilikan sikap toleran, penghormatan atas perbedaan pendapat, dan tidak memaksakan kehendak dengan cara kekerasan. Diperlukan peran pemerintah, tokoh masyarakat, dan mahasiswa untuk mensosialisasikan, menumbuhkembangkan wawasan moderasi beragama terhadap masyarakat Indonesia untuk terwujudnya keharmonisan dan kedamaian. Dengan kemampuan dan bekal ilmu pengetahuan mahasiswa sebagai agen perubahan yang akan menyelaraskan dalam bermoderasi.
Choli Nafs, Ketua MUI menyatakan bahwa untuk membentuk umat yang moderat tentu diperlukanadanya ajaran, sehingga membahas ajaran Islam moderat dalam rangka merealisasikan hal tersebut, tentu menjadi keniscayaan dan keharusan. (Quraish, 2019) moderasi bukanlah sikap yang bersifat tidak jelas atau tidak tegas seperti sifat netral dan pasif. Salah satu indikator moderasi adalah lemah lembut dan sopan santun, namun bukan berarti tidak boleh menghadapi suatu persoalan dengan tegas.
Ciri dari moderasi adalah berlaku adil, yakin menempatkan segala sesuatu pada tempatnya Hari ini, wacana moderasi beragama telah datang terlambat. Kaum muda telah begitu mengakrabkan diri dengan narasi-narasi ekstrim dan radikal. Kesadaran bahwa wacana ini datang di waktu yang tidak tepat, dan tantangan bahwa ekstrimisme dan radikalisme telah sampai pada fase mapan di benak-benak kaum milenial, membuat pemangku dan kita mau menginstrospeksi diri.
Dari berbagai uraian penilis memahami bahwa seharusnya Mahasiswa sebagai agen perubahan turut berperan dalam usaha menyiapkan pengetahuan praktis mengenai moderasi beragama di dalam kurikulum untuk menipiskan ketebalan radikal pada kehidupan masyarakat, dalam menghindari sikap ekstrem dan fanatik berlebihan terhadap suatu golongan serta sikap revolusioner dibutuhkan sebagai jalan tengah atau keseimbangan dalam praktik beragama.
Mahasiswa bisa membuat diskusi tingkat mahasiswa dalam mengajak dan menggerak mahasiswa lainnya menganalisis serta mengkaji terkait pentingnya moderasi dalam menghindari ekstrimisme dalam dunia kampus.
*Mahasiswi IAIN Pontianak
Posting Komentar