KtHx54QkBr383xDR2xK8jWF4FPsDN0wkvFCwXh9V
Bookmark

Mengungkap Keberagaman Pontianak dalam Heritage dan Toponimi

Foto/Istimewa para peserta Webinar "Pontianak Heritage dan Toponimi" diselenggarakan Yayasan Suar Asa Khatulistiwa, Kamis (27/10/2020)
Menelisik
Pontianak dengan sudut pandang toponimi, maka kita akan menemukan jejak-jejak sejarah masyarakat Kota Pontianak yang toleran sejak dulu. Kesimpulan tersebut terungkap dalam webinar “Pontianak Heritage dan Toponimi” pada Kamis (27/10/2020). Webinar ini diselenggarakan oleh Yayasan Suar Asa Khatulistiwa (SAKA).     

Toponimi adalah bidang keilmuan dalam linguistik yang membahas tentang asal-usul penamaan nama tempat dan wilayah. 

Ahmad Sofian, penulis buku “Pontianak Heritage” menyatakan bahwa proses berdirinya Kota Pontianak tidak berjalan secara tunggal.

Hal itu bisa dilihat dari beradanya penamaan kampung-kampung yang ada di Kota Pontianak. “Seperti Kampung Jawa, Kampung Bali, Kampung Banjar, Kampung Arab dan lain-lain. Ini merupakan suatu nilai-nilai yang seharusnya tidak boleh hilang di masyarakat,” katanya.

Pernyataan serupa juga disampaikan Kepala Kesbangpol Pontianak, Rizal S.Sos. “Pembukaan Kota Pontianak ini tentu sangat menarik. Dimana pendirinya (Sultan Abdurrahman) membangunnya dengan filosofi yang luar biasa, menjadikan Kota Pontianak ini sebagai rumah bersama,” tuturnya.

Foto: Pamflet Kegiatan Webinar
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Pontianak, Abdul Syukur, mengingatkan bahwa perbedaan seharusnya menjadi pemersatu. Kerukunan tidak hanya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah, melainkan juga masyarakat, untuk menciptakan suasana yang aman, nyaman dan damai.

“Perbedaan yang ada adalah kehendak Tuhan. Perbedaan agama, perbedaan suku budaya adat istiadat adalah suatu keniscayaan, yang tidak boleh diambil oleh siapapun, karena itu adalah hak asasi manusia,” ujar Abdul Syukur.

Sementara itu Jejen Suratman, Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan Kota Pontianak, menegaskan bahwa dalam proses pendidikan sejarah tentu harus memiliki dasar yang kuat. Hal itu bisa dialakukan dengan penguatan kapasitas guru dalam kerangka menerapkan toleransi dengan persepektif sejarah.

Ketua panitia webinar, Lulu Musyarofah, mengatakan bahwa Yayasan SAKA mengadakan dialog ini dalam rangka memperingati Hari Jadi ke-249 Kota Pontianak. Sebelumnya Yayasan SAKA membuat serial video dokumenter yang melibatkan beragam paguyuban etnis, wali kota, dan sejarawan terkait Kota Pontianak.

Menurut Lulu, untuk menciptakan kerukunan, maka modal yang harus kita tanamkan adalah toleransi, saling menghargai, dan saling menghormati. “Maka dari itu diperlukannya buku-buku sejarah dalm perspektif lokal yang perlu dikembangkan,” pungkasnya. (LM)

0

Posting Komentar