KtHx54QkBr383xDR2xK8jWF4FPsDN0wkvFCwXh9V
Bookmark

Antara Ketahanan Pangan dan Jumlah Penduduk

Pelaksanaan Survei Ubinan padi di Kabupaten Sekadau dalam rangka mengukur produktivitas padi sebagai tanaman pangan. Sumber foto : penulis

Oleh : Achmad Tasylichul Adib

Jurnalistiwa.co.idApakah kita pernah terbayang kalau suatu saat nanti kita tidak bisa menyantap makanan lagi? Bukan karena kita tidak mampu membelinya melainkan karena stok makanan di bumi ini lenyap tak tersisa. Entah kapan atau berapa puluh tahun lagi kita mungkin tak akan menikmati hidangan-hidangan khas selera Nusantara jika keadaan dan Tuhan telah menghendaki. Namun hal itu bukanlah suatu keinginan bagi setiap insan yang selalu menjadikan makanan sebagai kebutuhan primer. Semua bisa disiasati dengan ikhtiar dan kerja keras oleh penghuni bumi seiring perkembangan zaman dan teknologi.

Istilah yang sering kali disebut kaitannya dengan ketersediaan makanan adalah ketahanan pangan. Ketahanan pangan diartikan sebagaimana kondisi terpenuhinya pasokan pangan bagi negara sampai dengan perseorangan untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan (UU No. 18 Tahun 2012). Hal senada pun diungkapkan oleh organisasi pangan dunia, Food and Agriculture Organization (FAO). Lebih jelasnya lagi, organisasi yang bermarkas di ibu kota Italia ini menyatakan bahwa ketahanan pangan merupakan kondisi ketika setiap orang, sepanjang waktu, memiliki akses fisik, sosial dan ekonomi terhadap makanan bergizi dan cukup untuk dapat menjalani aktivitas dan hidup yang sehat.

Pangan yang dalam hal ini dapat dikatakan sebagai makanan sehari-hari, dianggap sebagai kebutuhan paling mendasar. Sejalan dengan itu, maka sesuai cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 dan pasal di dalamnya yaitu ingin mengentaskan rakyat Indonesia yang terbebas dari kemiskinan dan kemelaratan. Maka dari itulah ketahanan pangan ini menjadi isu penting yang sedang ramai diperbincangkan. Pro dan kontra terkait kebijakan dan terobosan yang di buat oleh sang pemangku birokrat sering menyita perhatian rakyat biasa hingga yang bermartabat. Namun, pada dasarnya kebijakan tercipta adalah untuk kepentingan rakyat yang berdaulat.  Tidak lain dan tidak bukan adalah demi terwujudya ketahanan pangan yang kuat.

Berbicara mengenai pangan, kita tentu saja tidak bisa jauh-jauh dari asal muasal pangan itu ada. Apabila kita runtut prosesnya maka akan berakar pada pertanian beserta sektornya. Secara ilmiah, gambaran pertanian negeri ini dapat dibuktikan dengan informasi berupa yang berupa fakta. Atau dengan kata lain adalah dengan data. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor Pertanian sebesar 3,7 persen per tahun dalam kurun waktu 2014-2018 atau dapat dikatakan PDB Pertanian ini meningkat dari RP 880, 4 triliun menjadi 1005, 4 triliun. Angka itu terbilang cukup mengesankan dan membawa angin segar di kancah dunia pertanian Indonesia. Capaian ini seringkali dijadikan sebagai indikator keberhasilan pembangunan sektor pertanian serta ketahanan pangan nasional. Padahal torehan itu tak lantas menjamin amannya ketahanan pangan Indonesia.

Nyatanya, publik kerap diresahkan dengan melonjaknya harga-harga kebutuhan makanan, adanya isu impor beras, impor buah, impor daging dan sebagainya. Harga yang kian bergejolak dipasaran pun menjadi pertanda bahwa ketahanan pangan kita sedang tidak baik-baik saja. Jelasnya sektor pertanian ini masih terbagi menjadi beberapa sub sektor lagi, sehingga tidak bisa langsung dipukul rata bahwa torehan tersebut menjamin ketahanan pangan. Toh kenyataannya sektor pertanian yang dominan saat ini adalah sub sektor perkebunan. Hal ini tentu saja menambah kekhawatiran akan ketersediaan pangan yang bergizi, mengingat populasi manusia di Indonesia ini tidak terbilang sedikit.

Keterkaitan antara ketahanan pangan dan penduduk seringkali dikaitkan dengan teori klasik dari Robert Malthus. Dalam teorinya, Malthus menyebut laju pertumbuhan penduduk seperti deret ukur dan laju pertumbuhan pangan seperti deret hitung, berarti bahwa laju pertumbuhan penduduk lebih cepat dibandingkan dengan laju pertumbuhan pangan. Hal ini mengisyaratkan dalam jangka waktu panjang manusia akan mengalami krisis sumber daya alam dan berebut untuk mendapatkan pangan jika laju pertumbuhan penduduk tidak dapat ditekan.

Sementara itu BPS memproyeksikan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2020 akan mencapai sekitar 271 juta jiwa. Meningkat dari hasil pendataan Sensus Penduduk 2010 yang berkisar di angka 237 juta jiwa. Sementara itu kita ketahui bahwa jumlah penduduk Kalimantan Barat kian meningkat. Terhitung sejak tahun 2010 berdasarkan pendataan Sensus Penduduk 2010 jumlah penduduk Kalimantan Barat mencapai 4.395.983 jiwa dan diproyeksikan pada tahun 2018 telah mencapai 5.001.664 jiwa. Laju pertumbuhan penduduknya sebesar 1,58 persen. Atau dengan kata lain, setiap tahunnya di Kalimantan Barat terjadi penambahan penduduk sekitar 75 ribuan jiwa.

Penambahan jumlah penduduk yang terjadi harus diiringi dengan ketersediaan pangan yang cukup, mengingat teori Robert Malthus di atas. Persebaran pangan harus sesuai dengan proporsi berdasarkan distribusi penduduk yang ada. Kemudian berdasarkan usia penduduk pun perlu diperhatikan karena sesuai dengan kecukupan pangan yang bergizi dan seimbang. Pembuat kebijakan tentu sudah paham akan hal ini, selanjutnya tinggal bagaimana kita-kita ini sebagai rakyat yang turut serta membantu pemerintah agar capaian pembangunan beserta ketahanan pangan dapat aman terkendali.

Hal sederhana dapat dilakukan oleh masyarakat terhitung mulai tahun depan periode Februari-Maret 2020. Masyarakat bisa mencatatkan dirinya sebagai penduduk Indonesia, melalui laman sensus.bps.go.id. Kita bisa mencatatkan diri kita secara online dan mandiri untuk membantu pemerintah dalam membuat kebijakan di bidang pangan. Toh nanti kita sendiri yang akan merasakan manfaatnya jika data yang kita isikan dalam laman tersebut benar. Sebab, pemerintah bukan berarti apa-apa jika tidak tahu jumlah, distribusi dan komposisi penduduk Indonesia.

Demikian halnya dengan pangan yang akan di jaga ketahanannya. Pemerintah dan jajarannya sebaiknya mensosialisasikan dengan gencar kegiatan Sensus Penduduk di tahun depan supaya lebih mudah dalam mengetahui jumlah pasti dan pola persebaran penduduk Indonesia. Selanjutnya kebijakan yang diambil akan membawa dampak menyeluruh bagi rakyat dan semesta. Sehingga jalan yang ditempuh menuju Indonesia maju sedikit lebih mulus.

Tidak bisa dipungkiri bahwa cakupan sektor pertanian teramat luas. Di dalamnya terdapat sub sektor tanaman pangan yang notabene sebagai penyokong kebutuhan dasar manusia. Sementara pangan mencukupi manusia, tentu saja harus tau pangan akan dibagikan ke berapa orang, seberapa besar pembagiannya dan kemana saja. Peran aktif kita sebagai rakyat harus didahulukan agar kita ikut dihitung terkait kebijakan di bidang pangan.

"Jumlah penduduk pasti, ketahanan pangan kuat menanti . . . "
* Penulis adalah Staf Seksi Statistik Produksi BPS Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat


Posting Komentar

Posting Komentar