Photo: Istimewa/Net |
Oleh: Leles
Suriyani*
jurnalistiwa.co.id - Rujukan Badan
Penyelengagara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berubah pasien yang biasa
mendapat rujukan ke Rumah
Sakit besar (kelas A dan B) kini harus
berjenjang dari kelas C dan D perubahan peraturan itu tentu tidak boleh
merugikan pasien
Kualitas
layananpun tidak boleh menurun akibat perubahan di atas karena pasalnya mereka telah
membayar dengan sejumlah uang untuk menjamin kesehatanya.
Terkadang pemegang kartu BPJS seringkali
terpinggirkan oleh sistem birokasi Rumah
Sakit saat memeriksakan kesehatan ke Rumah Sakit. Rujukan misalnya, akan ditanya apakah umum atau BPJS, kata kunci itu
tampaknya berlaku di semua Rumah Sakit
Saat seorang pasien menyebut "Kami pasien BPJS Kesehatan” maka rumah sakit akan dengan semangat
menyatakan bahwa kamar sedang penuh tidak ada kelas bagi pasien kelas A dan B
Namun sebaliknya jika menyebut, “Pasien Umum” maka pasien tersebut akan segera
ditanggani dengan siggap seakan semua kamar yang tadinya penuh kembali sepi
tanpa pasien. Rumah
Sakit mempersilahkan kepada mereka yang
mau membayar secara langsung tanpa melalui BPJS.
Rumah Sakit
butuh uang cash dari pada pembayaran BPJS yang juga seringkali tidak berpihak
pada penyelenggara kesehatan. Lebih lanjut, saat seorang menyebut pasien umum
yang berarti mereka harus menyediakan biaya Rumah Sakit sendiri tanpa di tanggung oleh pemerintah, pelayananyapun berbeda.
Perawat maupun dokter akan dengan sigap mencarikan
jadwal konsultasi pasien merekapun dengan akan mudah mengatur semua hal,
sehingga orang sakit atau pasien menjadi nyaman.
Hal ini berbeda dengan pasien yang telah menyebut
dirinya tertanggung oleh BPJS Rumah
Sakit akan menjelaskan dengan seribu satu
alasan bahwa dokter sedang pergi, sedang sibuk dan antriaan pasien BPJS sudah habis
Pasien BPJS akan dapat ditangani sesuai janji yang
bisa memakan waktu satu bulan lebih itu hanya untuk janjiaan dengan dokter,
belum pemeriksaan pengobatan dan seterusnya
Apakah mereka tifdak berfikir bahwa saat seorang
sakit, maka seakan ajal sudah
akan menjemput? Apakah kesakitan
yang mereka derita bisa ditunda
khususnya bagi yang tidak mampu atau miskin, dapat ditahan hingga satu bulan
lagi?
Oleh karena itu tidak jarang pasien miskin haris
kembali kerumah dan senlmbari berdo'a agar malaikat maut belum saatnya mencabut
nyawanya
Defisit, pelayanan
terhadap pasueen BPJS Keshatan yangbkian timpang ini seakan seirama dengan apa
yang dialami oleh perusahaan tersebut konon hingga saat ini BPJS kesehatan
defisit hinga RP. 16 triliun. Defisit
ini adalah yang tertinggi sejak 2014
yang mencapai RP. 8,5 triliun konon besarnya defisit itu karena banyak
nya pasien yang menunnggak membayar
iuran bulanan. Benarkah demikian?
Apakah pasien yang menungak bisa menggunakan haknya
untuk jaminan kesehatan? Bukankan sudah banyak aturan bagi penunuggak harus
melunasi dananya dan berbagai aturan dan persyaratan lainya.
Defisit besar itulah yang konon menjadikan rumah
sakit rujukan terutama rumah sakit swasta seakan-akan enggan melayani pasien BPJS Rumah Sakit Swasta terus membatasi jumlah pasien BPJS
karena alasan klaim mereka yang tak di bayar oleh pemerintah
Mungkin pilihan itu benar bagi pengelola rumah sakit
swasta pasalnya mereka harus menanggung semua biaya sendiri jika klaim kepada BPJS tidak dibayarkan dengan syarat
administrasi yang ribet bisa jadi rumah sakit akan tutup
Kondisi ini yang kabarnya mendorong pemerintah untuk turun tangan mengurai
defisit yang dikelola ileh BPJS pemerintah melalui kementriaan keuangan akan
menalangi dfisit BPJS bahalan presiden jokowo Dodo marah karana persoalan BPJS
yang tak kunjung usai
Kondisi tersebut semakin menjadi bukti betapa nyawa
manusia di indonesia dipertaeuhkan dalam urusan pelayanan kesehatan. Nyawa
manusia merdeka seakan mudah saja siganti dengan kebajikan yangbtak pernah memihak
orang miskin
Orang miskin sekali lagi selayaknya memang tidak
sakit. Cukuplah orang kaya saja yang sakit.karena mereka mempunyai sejumlah
uang untuk membayar jasa layanan rumah sakit. Cukuplah orang miskin dirawat
dirumab atau dengan pengobatan tradisianal lain semisalnya.
Sebuah praktik masyarakat kuno, yang mungkin akan
menjadi alternatif ditengah ketidak berpihakan pemerintah terhadap orang miskin
saat sakit rumah sakit sebagai institusi modern pendobrak kemapanan masyarakat
yang telah percaya terhadap dukun untuk penyembuhan kini menjelma menjadi jadi
dikalangan masyarakat awam. Atau bisa menjadi monster yang menakutkan
Monster itu siap memangsa orang miskin yang tak kuat
membayar atau mereka yang berbekal kartu BPJS atau Kartu
Indonesia Sehat (KIS) kartu yang konon dapat menjadi obat
mujarab bagi persoalan kebangsaan kini seakan tidak ada gunanya lagi.
Kartu itu hanya sekedar hiburan bagi mereka yang
telah tertimpa kesusaha kartu itu tidak akan pernah sakit untuk menaklukan
rezim pengelolaan kesehatan.
BPJS kesehatan sebagai solusi sudah tidak dapat
diandalkan menangani dan menanggung biaya penyembuhan BPJS Kesehatan sebagai
harapan terwujudnya masyarakat yang sehat. Keadilan bagi semua seakan lunglai
menghadapi dirinya sendiri bagaimana mereka akan menyelamatkan orang lain
ditengah kondisi BPJS Kesehatan yang sudah berada di waktu ajal.
Perubahan status. Rumah Sakit dan berjenjangya
mekanisme rujukan hanya akan semakin memperkeruh keadaan.orang miskin akan
tetap berjuang dengan kesakitan yang diderita di tengah ketidakmampuaan
pemerintah menyelamatkan jiwa manusia
Orang miskin tetaplah manis sebagai jualan politik,
tetapi terasa pahit saat mereka harus
berhadapan dengan mekanisme rujukan rumah sakit, pemerintah perlu
merekonstruksi BPJS Kesehatan penataan kelembagaan dan pengelola tampaknya
perlu menjadi agenda terdekat BPJS kesehatan perlau tetap menjadi penolong bagi
mereka yang sedang sakit dan susah
Orientasi layanan prima perlu menjadi modal utama
proses rekonstruksi itu jangan sampai orang miskin menjadi korban akibat
kelalaian dan kesalahan pengelolaan layanan masyarakat tersebut
Pemerintah berkewajiban menjamin.semua itu
sebagaimana amanat UUD 1945 pasal 28 H ayat (2) "Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan
dan perlakuaan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama
mencapai persamaan dan keadilan".
Ditegaskan lagi dalam pasal 34 ayat (2) "Negara mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan
tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan".
Penulis Adalah
Mahasiswa PGMI IAIN Pontianak
Posting Komentar