Astaga! Hari ini
aku lupa jika ada gambar rancangan sebuah bangunan yang harus segera dikirim ke
Jakarta. Terlambat sampai satu hari saja pasti akan menimbulkan masalah. Sebagai
seorang arsitektur, memang sudah tugasku membuat rancangan. Tiga bulan yang
lalu, sebuah perusahaan besar memintaku untuk membuat rancangan bangunan untuk
cabang perusahaannya di Jakarta dan aku menyanggupinya. Rancangan gambar
elektronik sudah dikirim melalui email. Sisa
rancangan gambar manual yang harus dikirim melalui jasa pengiriman.
Oh
apalagi ini! Bukankah sekarang mobilku juga sedang di bengkel, lantas bagaimana
aku bisa pergi?. Satu jam lagi, tempat itu akan tutup. Ah, Aku tidak mungkin
menunggu hingga esok untuk mengirimkannya. Tak apalah, hari ini aku akan naik angkutan
umum.
Kuayunkan
langkah kakiku dari rumah menuju jalan besar, berharap masih ada kendaraan umum
yang lewat. Semenit, dua menit hingga sepuluh menit menunggu seperti satu jam
lamanya. Namun tak satupun angkutan umum yang lewat. Menunggu seperti ini
memang membosankan. Lebih baik berjalan saja sembari menunggu angkutan umum dan
menyegarkan pikiran.
Lama
berjalan, ternyata kaki ini protes juga. Aku melihat jam di tangan sudah
menunjukkan pukul 04.30. Bagaimana ini? Tiga puluh menit lagi tempat itu akan tutup.
Jika terus berjalan kaki tentu akan terlambat. Tapi menunggu angkutan umum sepertinya
juga percuma.
“Permisi, Pak. Mau sekalian jalan?”
Seorang pengendara motor tiba-tiba menepikan kendaraannya dihadapanku.
“Saya mau ke tempat pengiriman
barang. Tapi bukan lurus dari jalan ini.. Jika kamu mau jalan lurus, lebih baik
tak usah.”
“Tidak apa-apa, Pak. Saya bisa bantu
antarkan.”
“Tak usahlah, nanti kamu terlambat
karena mengantar saya. Lebih baik saya menggunakan angkutan umum saja”
“Kalau jam segini, biasanya angkutan
umum sudah sepi, Pak. Mari saya antar saja, saya tidak tega melihat Bapak jalan
sendirian. Lagi pula tidak ada hal yang harus saya lakukan saat ini, Pak.”
Akupun
menerima tawaran untuk menumpang di motornya. Meski di awal sempat ada
prasangka buruk, namun ketika sudah berkenalan dan mengobrol, ternyata Rasyid
adalah orang yang benar-benar tulus membantu. Di balik tampangnya yang terlihat
muda, rupanya Rasyid sudah menikah dan memiliki seorang anak yang bernama
Rianna. Ia menceritakan bahwa saat ini Rianna duduk di kelas 2 SD dan hari ini
adalah ulang tahunnya yang ke delapan. Tentu sebagai seorang bapak, Rasyid begitu
senang melihat pertumbuhan putrinya semata wayang yang kian dewasa. Namun,
tatkala aku menanyakan menanyakan perihal istrinya, Rasyid sempat terdiam
sejenak. Dan betapa terkejutnya aku saat mendengar bahwa istrinya meninggal
saat melahirkan Rianna. Dan sejak saat itu, Rasyid hanya tinggal berdua dengan
anaknya. Obralan singkat ini membuatku kagum terhadap ketegaran hati Rasyid
dalam menjalani kehidupannya.
Tak terasa karena asyik mengobrol,
kami sudah sampai di tempat pengiriman barang.
“Oh di sini ya tempatnya, Pak.”
“Ya, di sinilah tempatnya. Untung
saja masih buka. Kalau tidak gambar rancangan saya tidak bisa dikirim hari ini.”
“Iya, Pak. Alhamdulillah. Apa Bapak
mau saya tunggu, biar bisa saya antar pulang?”
“Ah
tidak usah, sudah cukup bantuannya. Kemungkinan anak saya sudah pulang kuliah, saya
bisa memintanya untuk menjemput saya nanti.”
“Baiklah,
Pak. Jika begitu, saya pamit duluan ya.”
“Eh,
tunggu sebentar…”
***
Sabtu
pagi, Rasyid bergegas pergi meninggalkan putri kecilnya sendirian dirumah.
Sebelumnya, Rianna merengek-rengek ingin ikut, namun ia tak mengizinkannya. Rasyid
berjanji untuk segera pulang dan memberikannya hadiah. Dengan harapan diberi
hadiah, Rianna bersedia untuk menunggu di rumah.
Namun
sebenarnya, kemanakah tujuan Rasyid pergi? Apakah ia benar-benar kembali untuk
memberikan hadiah untuk Rianna? Di tengah perjalanan, Rasyid melihat laki-laki
paruh baya berjalan tergopoh-gopoh sambil membawa barang. Sepertinya ia ingin
pergi ke suatu tempat. Rasyid merasa iba, ia menepikan motornya dan menawarkan
bantuan ke bapak tersebut. Awalnya, bapak itu menolak karena takut merepotkan,
namun akhirnya ia mau juga menumpang. Di sepanjang perjalanan, Rasyid
berkenalan dan berbincang dengan bapak Ahmad hingga tak terasa mereka sudah
sampai ke tempat yang di tuju.
Merasa
tugasnya sudah selesai, Rasyid berpamitan pulang dengan pak Ahmad. Namun ketika
ia sudah siap tancap gas, ternyata pak Ahmad memintanya untuk tidak beranjak
dulu.
“Ini, terimalah.” Pak Ahmad menjulurkan dua
lembar uang bernominal Rp. 100.000 kepada Rasyid.
“Tidak
usah, Pak. Saya ikhlas membantu.”
“Tak
apa. Anggap saja rejekimu hari ini.”
“Tidak
usah, Pak. sungguh saya ikhlas menolong. Bapak sama sekali tidak merepotkan
saya.” Ucap Rasyid menyakinkan.
“Uang
ini bukan untukmu, Rasyid. Pergunakanlah uang ini untuk membelikan Rianna
hadiah. Bukankah hari ini adalah ulang tahunnya?”
Rasyid
teringat akan putrinya yang saat ini setia menunggu kehadirannya pulang. Di
benaknya terbayang-bayang wajah Rianna yang sebelumnya ingin ikut dengannya.
Perasaan Rasyid sedih sekaligus gembira. Matanya gerimis saat menerima uang
pemberian pak Ahmad. Entah apa yang ada di pikirannya.
“Terimakasih
banyak, Pak. Saya akan menggunakan uang ini untuk membahagiakan putri saya.”
“Ya.
Mudah-mudahan Rianna senang. Sampaikan salam dari saya ya.” pak Ahmad tersenyum
ke arah Rianna sambil menepuk pundaknya.
***
Riannna,
putri kecilku yang lahir pada tanggal 10 Desember 2010, delapan tahun yang lalu. Kini
ia beranjak besar. Senyum dan tawanya membawa kegembiraan di rumah kecil ini dan
di lubuk hatiku. Namun, tak jarang pula ia menuai isak tangis karena mengingat
alhamarhum ibunya. Mungkin karena tak kuasa menahan sesak yang berombak dalam
dada.
Kutahu
ia ingin selalu ada di dekatku. Setiap aku harus pergi bekerja, hatinya dirimbuni
kesepian. Sungguh berat hatiku meninggalkannya sendirian. Ingin rasanya aku
membelikannya banyak mainan agar ia tak merasa
kesepian, namun apalah dayaku yang hanya seorang tukang bangunan. Penghasilanku
hanya cukup untuk makan sehari-hari dan membiayai uang sekolahnya. Kadang hatiku
terasa sendu kala tak bisa memberinya uang jajan. Terpaksa ia harus menahan
ludah saat melihat teman-temannya makan kue enak. Namun putri kecilku tak tak
sedikitpun mempersalahkannya.
Namun
dua minggu yang lalu, ia mengeluh karena sepatunya kini sudah sempit. Wajar
saja, sepatu itu sudah ia gunakan sejak kelas satu SD. Ia menangis setelah
sepulang sekolah dan menunjukkan kakinya yang memerah karena harus
memaksakannya masuk di sepatu yang kecil. Akupun berjanji akan membelikan
sepatu baru saat ulang tahunnya. Ia menunggu sembari menghitung hari. Ia coret
setiap tanggal yang berlalu di kalender dan selama itu pula putri kecilku harus
bersabar menahan sakit di kakinya.
Dan
saat hari ulang tahunnya tiba, ia membangunkan dan mengingatkanku tentang janji
tuk membeli sepatu baru. Ia seakan-akan sudah tak sabar untuk segera pergi ke pasar
dan memilih sepatu yang inginkan. Aku bilang, “Rianna tak usah ikut”. Namun Ia
menangis ingin ikut. Bukan, bukan karena aku tak mau mengajak, namun aku takut
ia kecewa.
Aku
hanya bisa berjanji untuk membelikannya hadiah sepatu baru seperti apa yang ia
inginkan. Namun sepertinya itu hanya janji palsu. Bagaimana mungkin aku bisa
membelikannya sepatu baru, sedangkan uang di dompet hanya tersisa dua puluh
lima ribu untuk makan hari ini. Aku lantas pura-pura pergi ke toko sepatu. Dan
ia memandangku dengan penuh pengharapan. Aku tahu ia pasti akan setia menanti
ayahnya pulang ke rumah.
Di
sepanjang jalan, aku hanya berpikir alasan apa yang akan aku berikan untuknya
saat sepatu yang ia tunggu-tunggu tak dapat kubelikan. Hingga akhirnya, aku memutuskan
untuk membantu seseorang dan ketika itulah Tuhan memberikan rejeki yang tak
disangka-sangka.
“Ini
sepatu baru untuk Rianna.” Kataku padanya.
Seketika
matanya basah memandangi sepatu itu. Sepatu yang ia inginkan sejak lama. Ia
memelukku dengan eratnya dan mengucap terima kasih.
“Ketahuilah
Nak, bahwa ketika kita mensyukuri kehidupan ini, maka Tuhan akan menambah
nikmat-Nya kepada kita”
Penulis: Veniy Andriyani
Posting Komentar