Sepasang
suami istri penuh cinta menggunakan warna baju senada, perlahan memasuki rumah
mungil berwarna abu-abu. Warna kesukaan pria berbadan tinggi yang setiap
harinya selalu bahagia. Sedikit berantakan, setelah ditinggal cukup lama. Ara,
begitu panggilan sayang dari sang suami, wanita yang gemar menulis puisi ini
menuju kamar.
“Ara nyuci aja dulu ya, Mas,” ucapnya lirih menatap tas
pakaian.
“Istirahat aja dulu istriku yang cantik ,” balas lembut
suaminya.
Ara mengangguk sembari tersenyum, kemudian bergegas mandi
agar segera beristirahat. Tak mau kalah, sang suami pun ikut terlelap pada
kamar yang penuh dengan tumpukan buku dan kertas.
“Ara, Sayang. Subuh yuk.”
“Sakit, Mas. Kepala Ara pusing,” ucap Ara terbata.
“Sayang, badan kamu panas banget. Kamu sakit?”
Ara tetap memaksakan diri untuk bangun dan menjalankan
tugasnya sebagai hamba yang baik serta makmum yang sempurna untuk imamnya.
Seusai solat, Ara sedikit merasa lebih baik dan kemudian menyiapkan sarapan
untuk suaminya. Bagi Ara, taat dan patuh kepada suaminya sebagai bukti cintanya
pada Allah.
“Sayang, jas yang hitam tebal dimana ya?”
“Yang kemaren di bawa ke rumah Ibu kan? Ara rendam Mas,
belum sempat dicuci.”
“Sayang?! Jadi Mas pakai jas apa? Satunya kan udah kecil.”
“Pakai kemeja aja ya, Mas? Besok baru pakai jas,” ucap
Ara memohon.
“Kamu tau kan, Ra. Kesan pertama akan menentukan kesan
selanjutnya.”
“Mas kenapa marah? Apa karena mau kelihatan sempurna di
mata mantan? Dari awal Ara nggak setuju Mas.”
“Mas kerja untuk kamu ya Sayang, Mas pamit!”
“Mas.., Mas.., Mas Abi, tunggu,.”
Ara tak sanggup mengejar suaminya yang sudah terlebih
dulu keluar ke jalan. Dia merasakan nyeri pada perutnya, kepalanya pusing dan
kembali ke rumah, masuk ke dalam kamar. Sepanjang hari Ara tak bisa menghubungi
suaminya, padahal di jadwal tentu saja tertera jam istirahat juga jam
kepulangan. Ara merasa kondisi tubuhnya semakin tidak baik.
Sudah berapa kali Ara keluar masuk kamar mandi dan
berganti baju, makan pun hambar rasanya tidak bisa untuk ditelan. Hingga
akhirnya malam minggu tiba, Ara ingin sekali dibelikan buah. Masih terus
mencoba menghubungi suaminya tapi tetap saja hasilnya nihil. Perasaan Ara
semakin tidak karuan, dari awal Ara memang tidak setuju jika suaminya harus
menerima tawaran pekerjaan dari Dira, mantan pacar Abi dulu.
“Mas Abi?”
Ara terbangun ketika Abi membuka pintu kamar, bukan
memberikan senyuman atau menanyakan kabar istrinya yang terbaring lemah. Abi
masuk ke kamar hanya untuk meminjam handphone
Ara, kemudian keluar kamar dan duduk di kursi ruang tamu. Hati Ara hancur
melihat sikap Abi, tangannya mengepal tapi tidak merubah pikiran Abi.
Abi menemukan beberapa pesan singkat antara Ara dan
tantenya, kemudian bergegas masuk ke kamar untuk segera memeluk Ara. Abi
menangis, Ara sudah terlebih dulu menangis bahkan membuka mulut sudah tidak
lagi sanggup.
“Sayang, kamu hamil?”
Ara masih saja diam namun pelukannya sangat kuat. Abi
tetap melanjutkan permintaan maafnya. Tangan kanan Abi kini berada di perut
istrinya. Abi tau tangan kanan Ara masih mengepal begitu kuat.
“Mas nggak punya pulsa tadi, makanya barusan Mas pinjam handphone Sayang. Mas baru baca pesan
kalau Sayang titip buah dan Test Pack.
Mas baca semua pesan Sayang sama tante Nina. Maafin Mas, silakan pukul Mas
sekarang. Percaya sama Mas, Mas nggak macam-macam sama Dira. Mas Abi sayang
Ara.”
Ara membuka kepalan tangannya dan menerima semua maaf dan
penjelasan dari Abi. Kini Ara merasa aman dipelukan suaminya. Cinta begitu
sederhana dalam memaafkan kesalahan, sebab dalam kehidupan tidak ada yang
sempurna. Meski kini, keduanya belum mengetahui secara pasti kebenaran kehamilan
Ara.
Hari yang seharusnya Abi masih menjadi pemateri di agenda
mantan pacarnya yang begitu Ara benci dibatalkan sepihak. Abi tak peduli,
karena penjelasan dari dokter pagi itu sudah cukup membuat hatinya gembira.
Matanya memandang penuh lekat, tangan Abi dan Ara saling menggenggam.
“Sayang, terima kasih. Mas janji akan jaga kalian,” ucap
Abi dan mencium perut Ara.
Dokter bilang kehamilan Ara sudah masuk sembilan minggu.
Kebahagiaan Ara sempurna, tidak hanya buah-buahan yang Abi hadiahkan Abi. Ada
cincin baru yang kini melingkar di jari manisnya. Tak lupa kebahagiaan itu
mereka bagi kepada orangtua mereka.
“Sayang handphone
Mas bunyi kayaknya,” ucap Abi tangannya tetap di perut Ara.
Ara tersenyum, pertama karena Abi semakin sayang padanya
dan alasan lainnya baru saja pasangan suami istri bahagia ini mendapat pesanan souvenir pernikahan sebanyak 2000 item. Tanpa malu-malu Abi memeluk
istrinya di depan toko perhiasan.
“Rezeki anak kita Sayang,” ucap Abi dan sekarang mencium
kening istrinya.
“Tapi tadi Dokter bilang, Ara harus rehat Mas nggak boleh
ngajar dulu.”
“Sayang, lihat Mas. Anak kita adalah rezeki jadi jangan
khawatir.”
Hari-hari bahagia dilalui Ara dan Abi. Pasangan suami
istri yang mempunyai usaha souvenir
ini sudah hidup mandiri sejak keduanya masih sama-sama kuliah. Abi yang bernama
lengkap Habibie Firmansyah seringkali mengisi agenda sebagai narasumber. Dengan
modal tak seberapa Abi mengajak Ara memulai semuanya. Ara tidak pernah ambil
pusing atas penilaian orang lain terhadapa dirinya dan Abi. Sebab segala
sesuatu di kehidupan ini sudah di atur oleh semesta. Begitu kutipan pada salah
satu puisi milik Ara.
“Sayang, semalam Ibu telpon mau buatkan acara tujuh
bulanan untuk kita. Terus rencana kita ke panti asuhan gimana? Ibu bilang sih
acaranya juga mau dibuat sederhana cuma ngundang keluarga deket aja,” ucap Ara
berdiskusi dengan suaminya.
Abi memilih untuk terlebih dulu pergi ke panti asuhan
pada pagi hari dan kemudian pergi ke rumah Ibu sore harinya. Abi memang tak
sungkan berbagi, baginya semua yang dimiliki di dunia ini adalah titipan.
Keikhlasan yang dimiliki Abi berhasil membuat Ara jatuh cinta padanya. Bahkan
Abi selalu yakin, ikhlas mampu menenangkan dirinya dari apapun.
“Mas? Kamu ngundang Dira juga?” tanya Ara sedikit kalut
setelah melihat Dira.
“Mas juga nggak tau Sayang,” jawab Abi mencoba meyakinkan
istrinya.
Ara yang sejak sebelum menikah begitu benci dengan Dira,
mantan pacar Abi yang masih terobsesi ingin merebut Abi tiba-tiba mereka harus
bertemu di panti asuhan. Dira selalu mencari perhatian Abi lewat cara apapun.
Ara menjadi tidak betah di panti. Apalagi melihat tingkah laku Dira yang
kegenitan.
“Assalamualaikum
Ara, cantik ya sekarang,” sapa Dira kepada Ara.
“Iya waalaikumsalam.
Ngapain kamu disini?”
“Aku donator tetap di panti asuhan ini jadi setiap ada
tamu atau agenda apapun, aku selalu di undang. Aku nggak tau sampai sekarang
kenapa Abi lebih memilih kamu, Kalira Anindita dan asal kamu tau ya, Abi itu
belum sepenuhnya tulus sama kamu.”
Ara mengusap lembut perutnya kemudian meninggalkan ruang
teras untuk menemui Abi dan mengajaknya pulang. Abi meminta Ara menunggu
sebentar tapi raut wajah istrinya membuatnya harus segera berpamitan dan
meninggalkan panti.
Sesampainya di rumah orangtua Ara, masih saja Abi belum
berhasil mengajak istrinya bicara. Ara masih berdiam diri bahkan hingga acara
selesai. Abi sudah paham apa yang terjadi pada isrinya. Malam ini mereka
menginap di rumah Ibu, semuanya bahagia karena tidak lama lagi akan ada
kehidupan baru di keluarga mereka.
“Sayang, kenapa?” tanya Abi kepada istrinya yang terus
mengusap perutnya itu.
Ara menggelengkan kepala, menarik tangan Abi dan
menjelaskan kecemburuannya terhadap Dira yang tidak pernah selesai. Abi
tersenyum dan memeluk istrinya, memang Ara begitu sensitif sehingga Abi lebih
memilih untuk meredam emosi Ara tanpa menjelaskan apapun.
“Sekarang istirahat, besok pagi kita pulang. Jangan
nangis-nangis lagi ya, nggak boleh sampai sakit apalagi banyak pikiran. Harus
sehat,” bujuk Abi merayu istrinya.
Perut yang semakin membesar tidak mematahkan semangat Ara
untuk merangkai dan membuat souvenir.
Tangan mungilnya begitu lihai, Ara juga sengaja terus berkerja di rumah agar
bayang-bayang takut ketika melahirkan tidak membuatnya panik. Kehidupan baru
akan dihadiahkan semesta untuknya tidak lama lagi. Ara janji akan membuat
anaknya bahagia.
Hasil USG menunjukkan bahwa Ara dan Abi akan melahirkan
anak laki-laki. Mereka sudah menyiapkan nama terbaik untuk anak pertama yang
sudah tak sabar lagi dinantikan kehadirannya. Ara masih seperti mimpi, bahwa
ada kehidupan di dalam rahimnya. Ada cinta yang begitu hebat dan dalam waktu
yang sudah semesta takdirkan akan menjadi hadiah terindah untuk Abi dan Ara.
“Assalamualaikum,”
sapa Abi dari balik pintu.
“Waalaikumsalam,
Mas.., Mas kenapa? Kening Mas? Jawab Sayang?!”
Ara yang terlebih dulu panik merasakan kontraksi di
perutnya. Matanya masih dengan tanya yang belum di jawab oleh Abi. Abi menatap
mata istrinya yang menahan sakit.
“Ini kontraksi biasa Mas. Siapa yang pukulin Mas? Ngomong
Mas,” ucap Ara sendu.
Abi tersenyum sebelum memulai penjelasannya, mengusap
perut Ara dan meletakkan kepala istrinya itu di bahunya. Disertai dengan maaf
Abi mengatakan bahwa ada sekelompok preman yang menculik anak perempuan.
Kira-kira usianya sepantaran anak kelas 2 SD. Abi sudah berusaha keras melawan
semua preman-preman itu. Lokasi sepi di dekat pemakaman membuat Abi tidak bisa meminta
tolong siapa-siapa selain mengikhlaskan uang dua puluh juta agar anak kecil itu
bebas.
“Apa?! Uangnya Mas pakai buat tebus anak kecil itu?
Sekarang anak kecil itu?”
“Dia kembali ke sekolahnya. Allah pasti ganti Sayang,
mungkin memang belum rezeki kita. Percaya sama Mas, Allah bersama kita,” ucap
Abi sembari menenangkan istrinya.
Ara menangis begitu kuat tiba-tiba teriakannya membuat
Abi cemas. Perutnya mengalami kontraksi hebat. Abi segera membawanya ke klinik
bersalin. Ara sempat menolak karena tidak ada lagi uang yang mereka pegang.
Hanya sisa beberapa rupiah yang tentu saja tidak cukup untuk membiayai
persalinan.
“Maaf Pak, Bu. Bayi yang satunya lagi sungsang. Akan
segera saya buatkan surat rujukan untuk ke rumah sakit. Bu Ara harus di
operasi,” ucap Bidan di klinik tersebut.
Ara dan Abi menggelengkan kepala, bagaimana mungkin hasil
USG sebelumnya salah. Ara semakin menangis hebat, menolak untuk operasi.
Pertama karena dia yakin bisa melahirkan secara normal dan tentu saja biaya
persalinan yang membuat hati Ara patah.
Setibanya di rumah sakit, Ara masih meminta untuk
melahirkan normal sambil berbicara pada Abi untuk mencari pinjaman uang. Abi
menangis melihat kegigihan istrinya. Hatinya kini ikut hancur, tapi masih
begitu penuh doa untuk istri dan kedua calon anaknya.
Dokter menjelaskan bahwa resikonya besar jika Ara harus
melahirkan normal, tapi Ara tetap optimis hingga akhirnya sudah masuk pembukaan
delapan. Lahirlah satu bayi laki-laki dan kemudian dokter dibantu suster
mengecek kondisi bayi yang sungsang. Tanpa diduga posisinya sudah normal, Abi
semakin kuat menangis melihat bagaimana perjuangan istrinya, biaya sama sekali
belum dipikirkan. Berselang sepuluh menit kemudian lahirlah bayi laki-laki
kedua, anugerah yang dihadiahkan semesta untuk Abi dan Ara tanpa mereka ketahui
sebelumnya, tanpa mereka duga sepenuhnya. Sungguh semesta memberi kejutan.
“Sekarang Mas paham, arti kehidupan sesungguhnya itu
apa,” ucap Abi pelan.
“Kehidupan itu baru saja memberi arti untuk kita,
sekarang bagaimana caranya kita membayar semuanya Mas? Tapi tolong jangan
membebani keluarga kita.”
Ara menangis lagi, sanak saudara yang juga berada di
rumah sakit mengira tangisan Ara adalah kebahagiaan atas sesuatu yang sama
sekali tidak terduga. Abi perlahan merasa bersalah, apa yang harus dia lakukan
untuk membayar semuanya. Wajah istrinya begitu kalut.
“Mas, gimana? Masih menunggu keajaiban?” tanya Ara
berulang-ulang.
Tiba-tiba Dokter yang membantu persalinan Ara masuk dan
memberikan uang sebanyak lima puluh juta rupiah. Dokter masuk bersama anak
perempuannya yang tentu saja Abi mengenali wajahnya. Abi masih berdiam diri dan
Dokter tersebut mengatakan bahwa anak kecilnya itu menceritakan semuanya dan
menemukan foto Abi dan Ara yang jatuh selepas Abi mengantarkannya ke sekolah.
“Ambil saja semuanya, untuk bayi kembar kalian. Biaya
rumah sakit sudah jangan dipikirkan. Anak saya juga begitu berharga, terima
kasih Pak Abi sudah menolongnya.”
Dokter kemudian berpamitan meninggalkan ruangan karena
harus mengantarkan anaknya ke tempat les. Abi memeluk istrinya yang sedang
mendekap kedua bayi mereka. Ara menangis dan meminta maaf kepada suaminya.
Sekarang Ara mengerti arti hidup dan dalam kehidupan adalah ketika kita ikhlas
maka akan semesta hadiahkan lebih untuk kita.
Penulis: Evi Dwi Lestari
Posting Komentar