KtHx54QkBr383xDR2xK8jWF4FPsDN0wkvFCwXh9V
Bookmark

Hadiah Dari Semesta



            Sepasang suami istri penuh cinta menggunakan warna baju senada, perlahan memasuki rumah mungil berwarna abu-abu. Warna kesukaan pria berbadan tinggi yang setiap harinya selalu bahagia. Sedikit berantakan, setelah ditinggal cukup lama. Ara, begitu panggilan sayang dari sang suami, wanita yang gemar menulis puisi ini menuju kamar.
            “Ara nyuci aja dulu ya, Mas,” ucapnya lirih menatap tas pakaian.
            “Istirahat aja dulu istriku yang cantik ,” balas lembut suaminya.
            Ara mengangguk sembari tersenyum, kemudian bergegas mandi agar segera beristirahat. Tak mau kalah, sang suami pun ikut terlelap pada kamar yang penuh dengan tumpukan buku dan kertas.
            “Ara, Sayang. Subuh yuk.”
            “Sakit, Mas. Kepala Ara pusing,” ucap Ara terbata.
            “Sayang, badan kamu panas banget. Kamu sakit?”
            Ara tetap memaksakan diri untuk bangun dan menjalankan tugasnya sebagai hamba yang baik serta makmum yang sempurna untuk imamnya. Seusai solat, Ara sedikit merasa lebih baik dan kemudian menyiapkan sarapan untuk suaminya. Bagi Ara, taat dan patuh kepada suaminya sebagai bukti cintanya pada Allah.
            “Sayang, jas yang hitam tebal dimana ya?”
            “Yang kemaren di bawa ke rumah Ibu kan? Ara rendam Mas, belum sempat dicuci.”
            “Sayang?! Jadi Mas pakai jas apa? Satunya kan udah kecil.”
            “Pakai kemeja aja ya, Mas? Besok baru pakai jas,” ucap Ara memohon.
            “Kamu tau kan, Ra. Kesan pertama akan menentukan kesan selanjutnya.”
            “Mas kenapa marah? Apa karena mau kelihatan sempurna di mata mantan? Dari awal Ara nggak setuju Mas.”
            “Mas kerja untuk kamu ya Sayang, Mas pamit!”
            “Mas.., Mas.., Mas Abi, tunggu,.”
            Ara tak sanggup mengejar suaminya yang sudah terlebih dulu keluar ke jalan. Dia merasakan nyeri pada perutnya, kepalanya pusing dan kembali ke rumah, masuk ke dalam kamar. Sepanjang hari Ara tak bisa menghubungi suaminya, padahal di jadwal tentu saja tertera jam istirahat juga jam kepulangan. Ara merasa kondisi tubuhnya semakin tidak baik.
            Sudah berapa kali Ara keluar masuk kamar mandi dan berganti baju, makan pun hambar rasanya tidak bisa untuk ditelan. Hingga akhirnya malam minggu tiba, Ara ingin sekali dibelikan buah. Masih terus mencoba menghubungi suaminya tapi tetap saja hasilnya nihil. Perasaan Ara semakin tidak karuan, dari awal Ara memang tidak setuju jika suaminya harus menerima tawaran pekerjaan dari Dira, mantan pacar Abi dulu.
            “Mas Abi?”
            Ara terbangun ketika Abi membuka pintu kamar, bukan memberikan senyuman atau menanyakan kabar istrinya yang terbaring lemah. Abi masuk ke kamar hanya untuk meminjam handphone Ara, kemudian keluar kamar dan duduk di kursi ruang tamu. Hati Ara hancur melihat sikap Abi, tangannya mengepal tapi tidak merubah pikiran Abi.
            Abi menemukan beberapa pesan singkat antara Ara dan tantenya, kemudian bergegas masuk ke kamar untuk segera memeluk Ara. Abi menangis, Ara sudah terlebih dulu menangis bahkan membuka mulut sudah tidak lagi sanggup.
            “Sayang, kamu hamil?”
            Ara masih saja diam namun pelukannya sangat kuat. Abi tetap melanjutkan permintaan maafnya. Tangan kanan Abi kini berada di perut istrinya. Abi tau tangan kanan Ara masih mengepal begitu kuat.
            “Mas nggak punya pulsa tadi, makanya barusan Mas pinjam handphone Sayang. Mas baru baca pesan kalau Sayang titip buah dan Test Pack. Mas baca semua pesan Sayang sama tante Nina. Maafin Mas, silakan pukul Mas sekarang. Percaya sama Mas, Mas nggak macam-macam sama Dira. Mas Abi sayang Ara.”
            Ara membuka kepalan tangannya dan menerima semua maaf dan penjelasan dari Abi. Kini Ara merasa aman dipelukan suaminya. Cinta begitu sederhana dalam memaafkan kesalahan, sebab dalam kehidupan tidak ada yang sempurna. Meski kini, keduanya belum mengetahui secara pasti kebenaran kehamilan Ara.
            Hari yang seharusnya Abi masih menjadi pemateri di agenda mantan pacarnya yang begitu Ara benci dibatalkan sepihak. Abi tak peduli, karena penjelasan dari dokter pagi itu sudah cukup membuat hatinya gembira. Matanya memandang penuh lekat, tangan Abi dan Ara saling menggenggam.
            “Sayang, terima kasih. Mas janji akan jaga kalian,” ucap Abi dan mencium perut Ara.
            Dokter bilang kehamilan Ara sudah masuk sembilan minggu. Kebahagiaan Ara sempurna, tidak hanya buah-buahan yang Abi hadiahkan Abi. Ada cincin baru yang kini melingkar di jari manisnya. Tak lupa kebahagiaan itu mereka bagi kepada orangtua mereka.
            “Sayang handphone Mas bunyi kayaknya,” ucap Abi tangannya tetap di perut Ara.
            Ara tersenyum, pertama karena Abi semakin sayang padanya dan alasan lainnya baru saja pasangan suami istri bahagia ini mendapat pesanan souvenir pernikahan sebanyak 2000 item. Tanpa malu-malu Abi memeluk istrinya di depan toko perhiasan.
            “Rezeki anak kita Sayang,” ucap Abi dan sekarang mencium kening istrinya.
            “Tapi tadi Dokter bilang, Ara harus rehat Mas nggak boleh ngajar dulu.”
            “Sayang, lihat Mas. Anak kita adalah rezeki jadi jangan khawatir.”
            Hari-hari bahagia dilalui Ara dan Abi. Pasangan suami istri yang mempunyai usaha souvenir ini sudah hidup mandiri sejak keduanya masih sama-sama kuliah. Abi yang bernama lengkap Habibie Firmansyah seringkali mengisi agenda sebagai narasumber. Dengan modal tak seberapa Abi mengajak Ara memulai semuanya. Ara tidak pernah ambil pusing atas penilaian orang lain terhadapa dirinya dan Abi. Sebab segala sesuatu di kehidupan ini sudah di atur oleh semesta. Begitu kutipan pada salah satu puisi milik Ara.
            “Sayang, semalam Ibu telpon mau buatkan acara tujuh bulanan untuk kita. Terus rencana kita ke panti asuhan gimana? Ibu bilang sih acaranya juga mau dibuat sederhana cuma ngundang keluarga deket aja,” ucap Ara berdiskusi dengan suaminya.
            Abi memilih untuk terlebih dulu pergi ke panti asuhan pada pagi hari dan kemudian pergi ke rumah Ibu sore harinya. Abi memang tak sungkan berbagi, baginya semua yang dimiliki di dunia ini adalah titipan. Keikhlasan yang dimiliki Abi berhasil membuat Ara jatuh cinta padanya. Bahkan Abi selalu yakin, ikhlas mampu menenangkan dirinya dari apapun.
            “Mas? Kamu ngundang Dira juga?” tanya Ara sedikit kalut setelah melihat Dira.
            “Mas juga nggak tau Sayang,” jawab Abi mencoba meyakinkan istrinya.
            Ara yang sejak sebelum menikah begitu benci dengan Dira, mantan pacar Abi yang masih terobsesi ingin merebut Abi tiba-tiba mereka harus bertemu di panti asuhan. Dira selalu mencari perhatian Abi lewat cara apapun. Ara menjadi tidak betah di panti. Apalagi melihat tingkah laku Dira yang kegenitan.
            Assalamualaikum Ara, cantik ya sekarang,” sapa Dira kepada Ara.
            “Iya waalaikumsalam. Ngapain kamu disini?”
            “Aku donator tetap di panti asuhan ini jadi setiap ada tamu atau agenda apapun, aku selalu di undang. Aku nggak tau sampai sekarang kenapa Abi lebih memilih kamu, Kalira Anindita dan asal kamu tau ya, Abi itu belum sepenuhnya tulus sama kamu.”
            Ara mengusap lembut perutnya kemudian meninggalkan ruang teras untuk menemui Abi dan mengajaknya pulang. Abi meminta Ara menunggu sebentar tapi raut wajah istrinya membuatnya harus segera berpamitan dan meninggalkan panti.
            Sesampainya di rumah orangtua Ara, masih saja Abi belum berhasil mengajak istrinya bicara. Ara masih berdiam diri bahkan hingga acara selesai. Abi sudah paham apa yang terjadi pada isrinya. Malam ini mereka menginap di rumah Ibu, semuanya bahagia karena tidak lama lagi akan ada kehidupan baru di keluarga mereka.
            “Sayang, kenapa?” tanya Abi kepada istrinya yang terus mengusap perutnya itu.
            Ara menggelengkan kepala, menarik tangan Abi dan menjelaskan kecemburuannya terhadap Dira yang tidak pernah selesai. Abi tersenyum dan memeluk istrinya, memang Ara begitu sensitif sehingga Abi lebih memilih untuk meredam emosi Ara tanpa menjelaskan apapun.
            “Sekarang istirahat, besok pagi kita pulang. Jangan nangis-nangis lagi ya, nggak boleh sampai sakit apalagi banyak pikiran. Harus sehat,” bujuk Abi merayu istrinya.
            Perut yang semakin membesar tidak mematahkan semangat Ara untuk merangkai dan membuat souvenir. Tangan mungilnya begitu lihai, Ara juga sengaja terus berkerja di rumah agar bayang-bayang takut ketika melahirkan tidak membuatnya panik. Kehidupan baru akan dihadiahkan semesta untuknya tidak lama lagi. Ara janji akan membuat anaknya bahagia.
            Hasil USG menunjukkan bahwa Ara dan Abi akan melahirkan anak laki-laki. Mereka sudah menyiapkan nama terbaik untuk anak pertama yang sudah tak sabar lagi dinantikan kehadirannya. Ara masih seperti mimpi, bahwa ada kehidupan di dalam rahimnya. Ada cinta yang begitu hebat dan dalam waktu yang sudah semesta takdirkan akan menjadi hadiah terindah untuk Abi dan Ara.
            Assalamualaikum,” sapa Abi dari balik pintu.
            Waalaikumsalam, Mas.., Mas kenapa? Kening Mas? Jawab Sayang?!”
            Ara yang terlebih dulu panik merasakan kontraksi di perutnya. Matanya masih dengan tanya yang belum di jawab oleh Abi. Abi menatap mata istrinya yang menahan sakit.
            “Ini kontraksi biasa Mas. Siapa yang pukulin Mas? Ngomong Mas,” ucap Ara sendu.
            Abi tersenyum sebelum memulai penjelasannya, mengusap perut Ara dan meletakkan kepala istrinya itu di bahunya. Disertai dengan maaf Abi mengatakan bahwa ada sekelompok preman yang menculik anak perempuan. Kira-kira usianya sepantaran anak kelas 2 SD. Abi sudah berusaha keras melawan semua preman-preman itu. Lokasi sepi di dekat pemakaman membuat Abi tidak bisa meminta tolong siapa-siapa selain mengikhlaskan uang dua puluh juta agar anak kecil itu bebas.
            “Apa?! Uangnya Mas pakai buat tebus anak kecil itu? Sekarang anak kecil itu?”
            “Dia kembali ke sekolahnya. Allah pasti ganti Sayang, mungkin memang belum rezeki kita. Percaya sama Mas, Allah bersama kita,” ucap Abi sembari menenangkan istrinya.
            Ara menangis begitu kuat tiba-tiba teriakannya membuat Abi cemas. Perutnya mengalami kontraksi hebat. Abi segera membawanya ke klinik bersalin. Ara sempat menolak karena tidak ada lagi uang yang mereka pegang. Hanya sisa beberapa rupiah yang tentu saja tidak cukup untuk membiayai persalinan.
            “Maaf Pak, Bu. Bayi yang satunya lagi sungsang. Akan segera saya buatkan surat rujukan untuk ke rumah sakit. Bu Ara harus di operasi,” ucap Bidan di klinik tersebut.
            Ara dan Abi menggelengkan kepala, bagaimana mungkin hasil USG sebelumnya salah. Ara semakin menangis hebat, menolak untuk operasi. Pertama karena dia yakin bisa melahirkan secara normal dan tentu saja biaya persalinan yang membuat hati Ara patah.
            Setibanya di rumah sakit, Ara masih meminta untuk melahirkan normal sambil berbicara pada Abi untuk mencari pinjaman uang. Abi menangis melihat kegigihan istrinya. Hatinya kini ikut hancur, tapi masih begitu penuh doa untuk istri dan kedua calon anaknya.
            Dokter menjelaskan bahwa resikonya besar jika Ara harus melahirkan normal, tapi Ara tetap optimis hingga akhirnya sudah masuk pembukaan delapan. Lahirlah satu bayi laki-laki dan kemudian dokter dibantu suster mengecek kondisi bayi yang sungsang. Tanpa diduga posisinya sudah normal, Abi semakin kuat menangis melihat bagaimana perjuangan istrinya, biaya sama sekali belum dipikirkan. Berselang sepuluh menit kemudian lahirlah bayi laki-laki kedua, anugerah yang dihadiahkan semesta untuk Abi dan Ara tanpa mereka ketahui sebelumnya, tanpa mereka duga sepenuhnya. Sungguh semesta memberi kejutan.
            “Sekarang Mas paham, arti kehidupan sesungguhnya itu apa,” ucap Abi pelan.
            “Kehidupan itu baru saja memberi arti untuk kita, sekarang bagaimana caranya kita membayar semuanya Mas? Tapi tolong jangan membebani keluarga kita.”
            Ara menangis lagi, sanak saudara yang juga berada di rumah sakit mengira tangisan Ara adalah kebahagiaan atas sesuatu yang sama sekali tidak terduga. Abi perlahan merasa bersalah, apa yang harus dia lakukan untuk membayar semuanya. Wajah istrinya begitu kalut.
            “Mas, gimana? Masih menunggu keajaiban?” tanya Ara berulang-ulang.
            Tiba-tiba Dokter yang membantu persalinan Ara masuk dan memberikan uang sebanyak lima puluh juta rupiah. Dokter masuk bersama anak perempuannya yang tentu saja Abi mengenali wajahnya. Abi masih berdiam diri dan Dokter tersebut mengatakan bahwa anak kecilnya itu menceritakan semuanya dan menemukan foto Abi dan Ara yang jatuh selepas Abi mengantarkannya ke sekolah.
            “Ambil saja semuanya, untuk bayi kembar kalian. Biaya rumah sakit sudah jangan dipikirkan. Anak saya juga begitu berharga, terima kasih Pak Abi sudah menolongnya.”
            Dokter kemudian berpamitan meninggalkan ruangan karena harus mengantarkan anaknya ke tempat les. Abi memeluk istrinya yang sedang mendekap kedua bayi mereka. Ara menangis dan meminta maaf kepada suaminya. Sekarang Ara mengerti arti hidup dan dalam kehidupan adalah ketika kita ikhlas maka akan semesta hadiahkan lebih untuk kita.


Penulis: Evi Dwi Lestari
Posting Komentar

Posting Komentar