KtHx54QkBr383xDR2xK8jWF4FPsDN0wkvFCwXh9V
Bookmark

Stop Kekerasan Pada Anak di Dunia Nyata dan Dunia Maya

Ilustrasi/Net
Oleh: Siti Ayu Lestari

Anak merupakan generasi penerus bangsa yang membutuhkan perlindungan hukum khusus yang berbeda dari orang dewasa, dikarenakan alasan fisik dan mental dari anak yang belum dewasa dan matang. Anak-anak membutuhkan perlindungan dan perawatan khusus termasuk perlindungan hukum yang berbeda dari orang dewasa. Anak perlu mendapatkan suatu perlindungan yang termaktub dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Pemberitaan media masa dihiasi oleh banyaknya tindak pemerkosaan yang terjadi pada anak. Anak korban perkosaan hendaknya diberikan perlindungan dari media masa. Kenyataannya sering kali dijumpai media masa memberikan berita anak korban pemerkosaan. Pemberitaan media masa tersebut menimbulkan dampak yang kurang baik terhadap anak korban perkosaan. Adapun permasalahannya adalah bagaimana perlindungan hukum terhadap anak korban pemerkosaan dalam pemberitaan media masa.

Perlindungan hukum terhadap anak, korban kejahatan perkosaan dalam pemberitaan media massa menurut undang-undang diatur dalam pasal 64 Undang-Undang 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, Pasal 48 Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pasal 44 dan 29 pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran (P3SPS) Tahun 2012, pasal 5 Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan Pasal 4 dan 5 kode Etik Jurnalistik Tahun 2006.

Tindak kekerasan pada anak di Indonesia masih sangat tinggi, salah satu penyebabnya adalah paradigma atau cara pandang yang keliru mengenal anak. Hal ini menggambarkan seolah-olah kekerasan terhadap anak sah-sah saja karena anak dianggap sebagai hak milik orang tua yang dididik dengan sebaik-baiknya termasuk dengan cara yang salah sekalipun. Banyaknya kasus kekerasan anak yang terjadi di Indonesia dianggap sebagai salah satu indikator buruknya kualitas perlindungan anak. Keberadaan anak yang belum mampu untuk hidup mandiri tentunya sangat membutuhkan orang lain sebagai tempat berlindung.

Berdasarkan catatan yang ada, tindak pemerkosaan paling banyak dilakukan oleh orang dekat seperti ayah, paman, kakak, tetangga, teman sekolah, dan kekasih yang memiliki intensitas interaksi yang cukup sering dengan korban. Pemberitaan di telivisi maupun di media cetak sering menayangkan peristiwa kekerasan yang dialami oleh anak-anak. Berita wartawan sering memperlihatkan identitas dan wajah anak yang menjadi korban tindak pidana perkosaan, membuat korban semakin tertekan batinnya.

Angka perkosaan bisa jadi lebih besar karena korban tidak berani lapor ke pihak yang berwajib, penyebabnya adalah korban dan keluarga takut akan sligmalisasi lingkungan dan pencitraan oleh media massa. Dalam media massa sering diberitakan berita tentang perkosaan dan dengan judul vulgar. Tanpa disadari, baik media massa maupun masyarakat yang menyebabkan korban trauma. Dimana media massa maupun masyarakat seperti tidak memahami perasaan korban dan keluarganya dalam pemberitaan. Selain sudah menjadi korban perkosaan, korban tersebut masih menghadapi wawancara-wawancara yang tentu saja membuka lukanya, dan ditambah lagi dengan sligma atau pandangan yang mecemooh yang diberikan masyarakat sebagai orang yang sudah tercemar. Pihak keluarga pun kadang melakukan tindakan yang kurang bijaksana, demi menghindari aib keluarga korban justru dinikahkan dengan pelakunya. Bukannya menyelesaikan masalah, hal ini malah berpotensi memperburuk trauma korban.

Indonesia telah membentuk Undang-Undang Nomor 23 Nomor 2002 Tentang Perlinungan Anak sebagai bentuk perhatian serius dari pemerintah dalam melindungi hak-hak anak. Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah ditentukan adanya perlindungan terhadap pemberitaan indentitas anak sebagai korban kejahatan. Penyimpangan atau pelanggran terhadap hak anak banyak terjadi. Terbukti dengan banyaknya kasus-kasus kriminalitas di telivisi atupun koran yang tidak melakukan perbuatan perlindungan terhadap identitas anak sebagai korban kejahatan.

Tujuan perlindungan anak menurut Undang-Undang adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpatisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan deskriminasi demi terwujudnya anak indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

Didalam pasal 59 Undang-Undang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa perlindungan khusus wajib diberikan kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam pasal 64 ayat 1 dan 2 meyebutkan bahwa anak-anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak-anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban kejahatan.

Perlindungan anak secara nasional telah mmperoleh dasar pijakan yuridis dintaranya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional serta pasl 21 sampai 24 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun , termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pasal 17 ayat (12) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak juga mengatur bahwa “setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. Selain itu, pasal 64 ayat (2) huruf g juga mengatur “perlindungan dan pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi”.

Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban perkosaan sangat berkaitan dengan perlindungan perkosaan sangat berkaitan dengan perlindungan identitas sianak dari peemberitaan massa. Hal itu diatur dalam pasal 64 ayat (3) butir b yang berbunyi “upaya perlindungn dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi”.

Adapun yang dimaksud dengan labelisasi adalah tindakan yan memberikan image atau kesan tersendiri dari masyarakat yang akan menimbulakan sesuatu penilaian dari masyarakat terhadap anak korban perkosaan, misalnya si A adalah anak korban perkosaan, ketika nama dan wajah si A ditayangka dimedia massa sebagai salah satu korban perkosaan, maka pandangan masyarakat terhadap si A akan berubah drastis. Masyrakat akan menganggapnya sebagai korban perkosaan, bahkan tak jarang dianggap sebagai orang yang kotor. Penilaian masyarakat ini akan terus mengikuti anak tersebut bahkan hingga si anak dewasa.

*Mahasiswa IAIN Pontianak
0

Posting Komentar