KtHx54QkBr383xDR2xK8jWF4FPsDN0wkvFCwXh9V
Bookmark

Mengenal Konsep Diri Dalam Kepribadian Seorang Muslim

Ilustrasi/Net
Oleh: Desi Lestari*

JURNALISTIWA.CO.ID - Pendidikan memiliki peran sangat penting dan menentukan dalam pembentukan kepribadian dan perkembangan peradaban manusia, khususnya dalam membina manusia dan membebaskannya dari kebodohan, kegelapan, dan kesesatan. Rasulullah diutus untuk mendidik manusia agar menjadi makhluk yang berakhlak mulia dan terlepas dari kesesatan.

Seorang muslim mempunyai jiwa dan kepribadian yang luar biasa karena seorang muslim itu jiwanya berasal daripada cahaya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kekuatan kepribadian seorang muslim itu karena hubungannya kepada Allah yang sangat kuat sekali sehingga menimbulkan akidah yang luar biasa dihatinya. 

Kekuatan akidah atau keyakinannya kepada Allah itu yang membuat dia bagaikan karang yang ditimba ombak samudera yang tak pernah bergeming menghadapi berbagai macam ujian cobaan. Karena bagi seorang muslim Allah segala-segalanya, bagi seorang muslim ridha Allah adalah tujuannya. Sehingga dia tidak peduli dengan ridho manusia apakah manusia ridha kepada dirinya atau tidak yang dia pikirkan adalah bagaimana Allah ridha kepada dirinya.

Sumber kepribadian seorang muslim adalah keyakinan dia kepada Allah dan ketakwaan dia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka dari itu Allah mengutus Nabi dan Rasul yang pertama mereka dakwahkan adalah tauhid, karena kepada tauhidlah sumber kekuatan manusia.  

Tawakal adalah meniggalkan apa-apa yang diharamkan Allah dan melaksanakan apa-apa yang diperintahkan Allah subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa setelah itu diberikan kebaikan, maka itu adalah kebaikan disamping kebaikan sebelumnya.

Seorang muslim itu kuat  dan tidak mudah putus asa dengan tawakal yang tinggi kepada Allah membuatnya ridha dengan semua ketentuan yang Allah berikan, mendapatkan kesenangan dia bersyukur dan mendapatkan kesusahan dia bersabar. 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh menakjubkan perkaranya orang mukmin. Sesungguhnya semua perkaranya  baik dan tidaklah hal ini dimiliki oleh seorangpun kecuali oleh orang mukmin. Jika dia mendapat kelapangan ia bersyukur maka syukur itu baik untuknya. Apabila ia tertimpa kesulitan ia bersabar maka sabar itu baik untuknya.” (HR. MusIim no.2999 dari Shuhaib radhiyallahu ‘anhu). 

Sumber kekuatan pribadi seorang Muslim itu adalah dari Allah, maka yang harus kita lakukan pertama kenalilah Allah, semakin kita mengenal Allah membuat kita semakin yakin, cinta, takut dan semakin kuat tawakalnya. Kata seorang ulama kebutuhan seorang hamba mengenal Allah itu melebihi kebutuhan kepada makanan dan minuman.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata “Sesungguhnya di dunia ini ada surga, maka siapapun yang tidak masuk surga ini, maka dia tidak akan masuk surga akhirat."
Apakah surga dunia itu, makrifatullah yaitu mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala. Cara mengenal Allah adalah dari al-Qur’an dan hadits serta memikirakan atau merenungkan dan mengambil pelajaran dari alam semesta atas kekuasaan  yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan. 

Yang kedua adalah taqarruh atau mendekat kepada Allah dengan cara  beramal shalih sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam  dengan pemahaman salafush shalih. Yang ketiga berusaha mengikuti kepribadian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, menjadikan Rasulullah sebagai teladan dalam setiap aspek kehidupannya. 

Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah” Al-Ahzab(33): 21.

Diterimanya amal ibadah dengan syarat ikhlas dan ittiba’, ikhlas adalah  tulus karena Allah dan hanya mencari rahmat dan ridhaNya. sedangkan ittiba’ adalah hanya mengikuti contoh dan petunjuk yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Seorang muslim tidak akan bisa melaksanakan agamanya dengan benar, kecuali dengan belajar Islam yang benar berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah menrut pemahaman salafush shalih. Agama Islam adalah agama ilmu dan amal karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam diutus dengan membawa ilmu dan amal shalih.

Perkataan Ibnul Qayyim, “atau yang diikuti.” Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan semua manusia untuk mengikuti Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga tidak boleh bagi seorang pun untuk mengikuti selain beliau.  Barangsiapa mengikuti selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengklaim bahwa hal itu boleh-boleh saja, berarti dia adalah thaghut, karena dia mengikuti selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang diperintahkan untuk diikuti.  
Ittiba’ (pengikutan) itu khusus untuk  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain beliau, yaitu dari kalangan ulama maupun para dai, mereka diikuti apabila mengikuti jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Yang berhak diikuti adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Para ulama dan dai hanyalah penyampai. Mereka diikuti karena kebenaran yang ada pada diri mereka dan sikap mereka yang sesuai dengan tuntutan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun sikap dan perbuatan mereka yang bertentangan dengan tuntunan Rasulullah, maka kita tidak boleh mengikutinya. 

Misalnya adalah para syaikh tarekat sufi. Para murid dan pemuja mereka mengikuti mereka bukan dalam rangka mentaati Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan mereka mengatakan, “Kita tidak membutuhkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita mengambil ilmu dari tempat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengambilnya. Kita mengambil ilmu langsung dari Allah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam itu mengambil ilmu melalui perantara, perantaranya adalah jibril. Sementara itu, kami mengambil ilmu langsung dari Allah.” 

Mereka juga mengatakan, “Kalian meriwayatkan ajaran agama kalian itu dari orang yang sudah mati. Sementara itu, kami meriwayatkan ajaran kami dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Mereka menganggap bahwa syaikh-syaikh mereka itu bisa berhubungan dan mengambil ilmu langsung dari Allah.   

Mereka telah sampai batas yang  berlebihan-lebihan ini. Na’udzubillah. Begitulah tarekat mereka. Tidak diragukan lagi bahwa mereka itu adalah para pembesar thaghut. Sebab, tidak ada jalan menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman “Katakanlah, “jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah, “Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran  [3]: 31-32)

Maka tidak ada jalan kecuali jalan Rasulullah, tidak ada hakikat kecuali hakikat beliau, tidak ada syari’at kecuali syari’at beliau, tidak ada aqidah kecuali aidah beliau, seseorang tidak akan sampai kepada Allah, ridha dan surga-Nya kecuali dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Oleh karena itu, semestinya menjadikan beliau Shallallahu ‘alaihiwasallam sebagai rujukan dalam pendidikan dan pembinaan kehidupan seluruh manusia. Sufyân bin ‘Uyainahal-Makkirahimahullah menyatakan: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwasallam adalah standar terbesar. Segala sesuatu (harus) ditimbang berdasarkan akhlak, sirah dan petunjuk beliau Shallallahu ‘alaihiwasallam. Semua yang sesuai dengannya, itulah kebenaran; dan yang menyelisihinya, itulah kebatilan”.

Salah seorang murid Syaikh Muhammad Nâshiruddinal-Albâni, yaitu Syaikh Muhammad ‘IdAbbâsi, menyimpulkan garis-garis besar yang terpenting mengenai pendidikan pada masa Salaf yang dijadikan acuan bagi kepribadian seorang muslim  dengan beragama yang baik dan benar, yaitu:

Pertama, Menjadikan Al-Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai landasan dan sumber ilmu. Keduanya merupakan sumber terpercaya dan maksum dari segala kesalahan dan kekurangan

Kedua, dengan pemahaman Salafush-Shâlih, yaitu seperti para sahabat, Tâbi’în dan Tâbi’ut Tâbi’în. Mereka telah dipuji oleh Allah SubhanahuwaTa’ala di dalam Al-Qur`an, dan juga direkomendasikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwasallam untuk diikuti. 

Ketiga, Mengikhlaskan ilmu hanya untuk Allah SubhanahuwaTa’ala dan menjadikannya sebagai puncak usaha dan tujuan kita.

Keempat, Memulai dengan menanamkan secara kokoh keimanan kepada jiwa murid sebelum belajar hukum syariat. Ini dilakukan dengan mengenalkan tentang Rabb, nama, sifat dan perbuatan-Nya, sehingga tertanam dalam jiwa murid pengagungan, penghormatan, pengharapan dan rasa takut kepada Allah SubhanahuwaTa’ala, serta kecintaan kepada-Nya. Dia juga akan selalu ingat kepada kematian, kengerian hari Kiamat, surga dan neraka serta hari Perhitungan amal. Memulai pendidikan dengan sisi ini akan mempersiapkan seseorang supaya dapat melaksanakan perintah Allah SubhanahuwaTa’ala dan menjauhi larangan-larangan-Nya serta senantiasa istiqamah. Demikian yang disampaikan Al-Qur`ân dalam masalah pendidikan generasi pertama dan kedua.

Kelima, Mengagungkan dan menghormati ilmu dan menjadikannya sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahuwa Ta’ala. Konsekuensi dari itu, ialah memuliakan dan menghormati serta berbuat santun kepada para ulama dan para guru.. Demikian juga seorang murid harus merendahkan suara di hadapan mereka, tidak berbuat lancang kepada mereka, hendaklah berlemah-lembut dalam berbicara dengan mereka. Mereka ialah pewaris para nabi sebagaimana telah disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihiwasallam. Lantaran itu, maka mereka para pendidik itu pun akan senang hati menyampaikan ilmu yang dimilikinya dan memberikan faidah (ilmu) yang mereka miliki. 

Keenam, Berpegang dengan metode ilmiah dengan berlandaskan dalil, hujjah, bukti kongkrit, menjauhi taklid, meninggalkan perkiraan dan prasangka keliru. Dalam pengajaran Islam, metode ini memiliki peran sangat penting. Sebab, Islam mengajak manusia untuk berfikir dan mencari dalil. Bimbingan Al-Qur`ân ini telah diamalkan oleh para Salaf terdahulu. 

Ketujuh, Menjadikan tujuan terbesar pendidikan dan pengajaran terfokus pada pembentukan pribadi muslim yang tunduk dan menerima perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kepribadian yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam uluhiyah-Nya dan menempuh beribadah sesuai jalan-Nya, sehingga mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan benar, berpegang teguh dengan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, melaksanakan kewajiban khilafah di bumi, memperhatikan agama dan dunia, serta beramal untuk dunia dan akhirat.

Kedelapan, Dalam proses pengajaran, menghubungkan hakikat ilmiah dengan hakikat keimanan, menanamkan aqidah yang benar dan mengokohkannya di dalam jiwa para murid. Inilah metode Al-Qur`ân dalam pembentukan aqidah, dimana dipaparkan ayat-ayat Allah SubhanahuwaTa’ala di alam semesta, jiwa dan ufuk bumi, dan mengajak manusia untuk merenungkan, memikirkan, sehingga sampailah keimanannya kepada Allah SubhanahuwaTa’ala, iman kepada kodrat (kekuasaan) dan sifat-sifat-Nya. Metode ini berbeda dengan pendidikan sekuler yang hanya menyampaikan hakikat ilmiah, dan memisahkan ilmu dari agama; sehingga pendidikan hanya bersifat lahiriyah dan sekedar slogan tanpa berpengaruh kepada akhlak, tidak membentuk manusia yang shalih.

*Mahasiswi Sekolah Tinggi Agama Islam Mempawah
0

Posting Komentar