AYU
Oleh: Sukardi (Adi TB)
Gadis kecil itu berjalan dengan
langkah cepat. Dia tampak terburu-buru. Jika terlambat, barang buruannya akan
hilang. Barang yang dicarinya ketika fajar setinggi tombak. Barang yang
dicarinya ketika matahari tepat di atas
kepala. Barang yang dicarinya ketika senja telah tiba. Barang yang bisa
digunakan untuk membungkus barang lainnya. Setelah digunakan, terkadang barang tersebut terabaikan.
“Emak, Ayu berangkat dulu ya ”
pamit Ayu sembari mengambil karung yang terletak di dekat lemari.
“Iya Yu, hati-hati di jalan.
Pelan-pelan dan izin dulu kalau mampir di suatu tempat” Emak terbaring di
tempat tidur.
“Iya Mak, doakan Ayu biar dapat
banyak” Ayu menutup pintu. Pintu yang tidak terbuat dari kayu. Lebih lembut
dari kayu dan mudah rusak. Terkena air pun rusak. Rumahnya tidak seperti gedung
para pemimpin, yang tinggi menjulang. Ini lebih rendah dan lebih kecil. Ketika siang hari, sangat panas, dan sangat
dingin ketika malam hari. Kondisi tersebut tidak membuat Ayu dan Emaknya merasa
takut dan meninggalkan tempat itu. Di
dalam gubuk kardus itulah, mereka merekam jalan kehidupan.
Ayu berjalan menyusuri gang dan
menembus jalan utama. Dengan semangat nan berkobar, bak kobaran api yang tak
mampu dipadamkan. Itulah Ayu, gadis manis berusia delapan tahun, membawa
kantong plastik ke sana ke sini, dijual untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
Sedangkan Emak berjualan kerupuk singkong, namun sekarang tidak bisa bekerja
lagi, karena sedang jatuh sakit.
Setelah berjalan 30 meter dari
awal gang, Ayu melihat seorang penjual buah-buahan, kemudian memanggilnya.
“Yu, kantongnya, 30 "
Ayu menghampiri tukang buah itu.
”Kantong besar apa kecil Kang?”
“Yang kecil saja”
“Ni Kang, udah Ayu cuci, bersih
dan kinclong deh.”
Ayu menjual kantong dengan harga
sangat murah. 10 kantong hanya 2500.
Sungguh harga yang tidak sebanding dengan pengorbanannya, ketika mengumpulkan
kantong-kantong bekas. Tersambar terik mentari dan diterpa hujan yang ganas.
Namun Ayu tidak menghiraukan itu semua. Bagi Ayu, yang penting kantong yang ia
jual dari hasil mencari barang bekas dan halal, bukan menyolong milik orang
lain. Lagi pula, walaupun barang bekas. Ayu mencuci dengan bersih kantong bekas
tersebut, menggunakan deterjen, yang kadang kala hasil berutang terlebih dahulu
di warung bu Tina. Sungguh menyedihkan hidup anak itu, bagi orang melihat
dengan hati, bagi yang tidak punya hati, menganggap biasa saja.
“Kantong plastik, kantong
plastik, ada yang mau beli, harga murah, 10 kantong harga 2500” itulah suara
teriakan gadis cantik usia delapan tahun itu. Ia tidak merasa malu dan yakin
kantong yang dijual laku terjual.
Mendekati lampu merah, terlihat
seorang Ibu yang sedang kesulitan. Ayu menghampirinya.
“Kenapa Bu, ada yang bisa Ayu
bantu?
“Ini loh Nak, kantong plastik yang ibu bawa
dari pasar, tiba-tiba robek. Sayurnya pada berantakan”
“Sini bu, masukin kantong plastik
yang Ayu bawa”
“Wah banyak banget kantong
plastik mu Nak?”
“Iya Bu, saya jualan kantong
plastik bekas, yang ini spesial buat ibu, tidak usah bayar” Ayu dengan segera
memasukkan sayur-sayur ke dalam kantong.
“Baik sekali hatimu Nak” si Ibu
memberikan sebungkus roti. Kemudian Ayu mengantarkan Ibu ke seberang jalan, dan
si Ibu menaiki becak.
“Terimakasih ya Nak Ayu”
“Iya Bu, sama-sama, hati-hati di jalan” Ayu
tersenyum.
Ayu senang bisa membantu ibu
tadi. Bagi Ayu, walau pun hidupnya susah, bukan bearti tidak bisa membantu
orang lainnya yang sedang kesusahan. “Tolong menolong dalam kebaikan” ucap Ayu sambil menatap kantong plastik
yang dibawanya.
***
Hari sudah sore. Ayu harus segera
pulang, sambil mencari kantong bekas. Memasuki gang Cahaya, biasanya di tempat
ini banyak kantong plastik bekas. Kantong hari ini tidak terjual semua. Masih
tersisa enam kantong. Dua kantong besar dan empat kantong kecil. Dua tiga
langkah dan seterusnya, Ayu melangkahkan kaki sambil mencari kantong plastik.
Tibalah Ayu di tempat pengumpulan
sampah gang Cahaya. “Wah, lumayan banyak ni kantong. Bersihkan.” Dua tiga
kantong berada di tangan Ayu. Kemudian ayu masukan ke dalam karung dan
melanjutkan perjalanan.
Ayu mampir sejenak di warung bu
Tina. “Bu, mau nambah. Emak tadi nyuruh ngutang obat yang seperti biasa,” wajah
Ayu memelas. Bu Tina belum beranjak, mungkin sedikit kesal dan tidak ada
kepastian dari Ayu dan emak ketika akan berhutang.
“Kapan mau bayarnya?”, tanya bu
Tina dengan wajah masam.
“Hari Jumat Bu Tin” Ayu menjawab dengan singkat dan
meyakinkan. Obat pesanan Emak sudah Ayu bawa. Ayu yakin hari Jumat bisa
melunasi hutang di warung bu Tina. Sudah dua minggu Ayu menyisihkan uang dari
jualan kantong plastik, dan selebihnya untuk membeli makanan.
Ayu pun tiba di rumah dan segera
memberikan obat kepada Emak. “Ni Mak, obatnya dan ini ada nasi, segera diminum Mak, cepat sembuh ya Mak,” Emak segera makan
dan minum obat, kemudian istirahat. Kelihatannya
Emak semakin parah sakitnya, membuat Ayu semakin khawatir akan kondisi Emak.
Kemudian Ayu menuju tempat
membersihkan kantong-kantong bekas itu. Ayu mengisi air ke dalam ember, dan
memasukkan deterjen. Kemudian satu persatu kantong dicuci sampai bersih. Dan
yang terakhir, sepertinya ada isi di kantong tersebut. Ayu segera membukanya.
Mata Ayu menatap lama. Ia bingung dengan apa yang ada di dalam kantong itu. Ayu
kaget dan berdiri, sambil memegang kantong tadi. Ternyata terdapat uang di
dalam kantong itu. Kalau dikira-kira, uang tersebut sama dengan harga sepuluh
ekor kambing.
Ayu membungkus kembali uang
tersebut, dan mengamankannya ke dalam lemari. Baru kali ini Ayu memegang uang
sebanyak itu. Detak jantung Ayu semakin kencang, seperti melihat hantu, padahal
melihat uang. Yang biasa dipegang oleh orang-orang kaya, dan sangat mencintai
uang. Semua kantong selesai dicuci, dan digantung.
Ayu pergi ke tempat tidur. Namun
tidak bisa tidur nyenyak, kepikiran dengan uang temuan tadi. Memang uang banyak
bisa bikin hati tidak tenang, takut hilang. Ayu bangkit dari tempat tidur,
menuju lemari. Mengambil karung dan kantong yang berisi uang. Kemudian
dimasukkan ke dalam karung. Ayu simpan karung itu di sisi Ayu tidur. Malam pun
larut. Jangkrik bernyanyi bersama dinginnya malam.
***
Fajar telah tiba. Para penghuni
bumi kembali dengan aktifitasnya masing-masing. Seperti biasa, Ayu dengan
karungnya berjalan menuju pasar dan tempat-tempat lainnya yang terdapat kantong
plastik bekas.
Hari ini, sudah hari Jumat. Ayu
ingat dengan hutangnya di warung Bu Tina. Padahal Ayu sudah memiliki uang
banyak, uang hasil temuannya. Ia bisa
membayar hutang dan membeli makanan lebih banyak lagi. Namun tidak demikian.
Ayu masih menyimpan uang itu dengan baik, dan tidak berkurang sepeser pun. Ayu
tidak berani menggunakan uang itu.
“Sudah hari Jumat, uangku belum
cukup untuk membayar hutang. Emm.. uang itu, ah jangan lah” pikiran Ayu terus
berkecamuk dengan uang temuan, dan hutang di toko Bu Tina.
Ayu terus berjalan mencari kantong plastik.
Ayu melewati beberapa ruko. Cuaca masih dingin, jam 6 pagi. Di salah satu ruko
terdapat pengumuman tentang orang yang kehilangan uang. Tertera jumlah uang dan
alamat lengkap. Jalan Pemuda 3, No 41.
Terdapat juga kalimat tentang imbalan untuk yang menemukan uang itu.
Jumlahnya lumayan banyak. Ayu langsung kepikiran dengan uang temuan kemarin.
Siang harinya, setelah menjual
kantong plastik, Ayu langsung pulang ke rumah. Ia mendapati Emaknya sedang terbaring
lemas. Ayu menghampiri Emak, sambil membawakan segelas air putih, “Bagaimana
keadaan Emak sekarang?” Ayu membantu emak untuk duduk.
“Emak merasa tidak kuat Yu” Emak
menesteskan air mata.
“Sabar ya Mak, Ayu bentar lagi
mau cari obat buat Emak”.
Emak berbaring dan berselimut.
Emak tampak menggigil. Ayu segera keluar mencari obat. Ia ke lemari dan
mengambil uang temuan itu. Ayu ingin pergi ke apotik. Separuh jalan, Ayu
teringat dengan alamat orang yang kehilangan uang itu. Ayu mengurungkan niatnya
untuk mencari obat. Kemudian Ayu bergegas menuju Jalan Pemuda 3, rumah nomor
41.
Ayu melewati Gang Bakti, sambil
lari-lari, tampak mendung dan turun hujan. Ayu mampir sejenak di Mushola.
Setelah hujan reda, Ayu melanjutkan perjalanannya. Perlahan-lahan, akhirnya Ayu
menemukan rumah itu. Ayu bertemu dengan satpam yang menjaga rumah, kemudian ia
mohon izin masuk, kemudian bertemu dengan pemilik rumah.
“Pak, saya Ayu. Saya menemukan
uang ini di dalam kantong, di tempat pembuangan sampah. Apakah benar ini uang bapak?”
Ayu memaparkan kronologi penemuannya.
“Saya Pak Rudi. Saya cek dulu
ya.” Pemilik rumah langsung menghitung uang, dan mengecek kartu identitas,
serta nomor rekening yang ada di dalamnya. Ternyata benar itu uang pak Rudi.
Ayu merasa senang dan tenang,
karena telah mengembalikan uang tersebut kepada pemiliknya yang benar.
“Nak Ayu, kamu telah
mengembalikan uang bapak, dan ini imbalannya”, pak Rudi menyodorkan sejumlah
uang, sesuai dengan yang tertera di pengumaman. Namun Ayu menolak. Dengan
banyak upaya pak Rudi ingin membalas jasa Ayu. Tetap saja Ayu tidak mau
menerimanya, Ayu sudah merasa cukup membantu. Dan imbalan akan membuat Ayu
menjadi sombong. Ayu pamit dan segera pergi menuju apotik.
Ayu merogoh kantong celananya.
Dan terdapat dua helai uang lima ribuan. Ia berlari sekencang-kencangnya, ingin
segera sampai ke tempat tujuan, dan membeli obat. Di perjalanan Ayu terbayang-bayang dengan
wajah Emak tersayang. Setelah obat dibeli, Ayu segera pulang ke rumah. Penuh
harap obat yang dibawa bisa membantu Emak.
“Assalamualaikum Emak, Ayu datang
membawa obat” tidak terdengar balasan emak. Ayu memanggil nama Emak
berulang-ulang, namun tidak ada sepatah kata pun. Akhirnya Ayu sampai di tempat tidur Emak. Ayu meneteskan air mata. Mendung tiba, hujan
bercucuran dengan deras, membawa dingin kesedihan. (*)
Posting Komentar