Foto/AJI Indonesia |
Pontianak, jurnalistiwa.co.id - Di akhir tahun 2018, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia merilis hasil catatan mengenai persekusi dan kekerasan terhadap jurnalis dalam konflik kebebasan pers.
Tercatat di aji.or.id, berdasarkan sumber dari organisasi pemantau media di Paris, bahwa Indonesia di tahun 2018 berada di peringkat 124 dari 180 terhadap kebebasan pers. Ada tiga aspek yang menjadi tolak ukur menurut Reporter Without Borders dalam menilai kondisi kebebasan pers sebuah negara yaitu iklim hukum, iklim politik, dan iklim ekonomi.
Selain itu di tahun 2018, menurut data statistik yang dikumpulkan oleh Bidang Advokasi AJI Indonesia mencatat setidaknya ada 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Kekerasan tersebut dikategorikan berupa pengusiran, kekerasan fisik, hingga pemidanaan terkait karya jurnalistik. Untuk kekerasan fisiknya berupa pemukulan, penamparan dan sejenisnya, tahun ini merupakan yang paling banyak dadi tahun sebelum-sebelumnya yaitu sebanyak 12 kasus.
Namun, ada kasus kekerasan baru yang dikhawatirkan akan menjadi trend di masa mendatang yaitu berupa pelacakan dan pembongkaran identitas jurnalis yang menulis berita atau komentar yang tak sesuai aspirasi politik pelaku lalu menyebarkannya ke media sosial untuk tujuan negatif. AJI mengkategorikannya sebagai doxing atau persekusi secara online.
Pada tahun 2018 ini, tercatat ada 3 kasus persekusi online yang menimpa jurnalis kumparan.com dan detik.com . Jurnalis kumparan.com dipersekusi karena tidak menyematkan kata 'habib'di depan nama Rizied Shihab dalam beritanya. Sedangkan jurnalis detik.com dipersekusi terkait berita tentang pernyataan Juru Bicara Persaudaraan Alumni 212 Novel Bamukmin dan saat meliput "Aksi Bela Tauhid" 2 November 2018.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sudah lama memberi perhatian pada kasus doxing yang biasanya berujung pada persekusi itu. Sebelumnya, doxing dan persekusi secara online menimpa warga sipil. AJI bersama organisasi masyarakat bergabung dalam Koalisi Antipersekusi untuk menangani trend yang merisaukan ini. Sebab, cuitan di media sosial harus dilihat sebagai bagian dari kebebasan berbicara dan berekspresi, sehingga tidak seharusnya disikapi dengan cara berlebihan yang merisak jati diri seseorang, hingga berujung perburuan dan kekerasan, bahkan pemidanaan.
Selain kasus kekerasan, hal lain yang juga merisaukan bagi kebebasan pers adalah masih adanya pasal-pasal yang bisa mempidanakan jurnalis. Selama ini setidaknya ada dua regulasi utama yang bisa mempidanakan jurnalis, yaitu KUHP dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang direvisi menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016. Komunitas pers berharap revisi KUHP akan memberikan angin segar. Sebab, KUHP peninggalan penjajah Belanda itu memiliki cukup banyak pasal pidana yang bisa menyeret wartawan ke pengadilan dan menjebloskannya ke penjara
Posting Komentar