Santri, Modernisasi dan Resolusi Jihad
Oleh: Yusuf Annasir
Ketika kebanyakan orang memanfaatkan malam hari sebagai
wasilah untuk menenangkan fikiran dan mengistirahatkan badan yang lelah akibat
aktifitas harian yang begitu menguras tenaga. Hal itu tidak berlaku dengan para
kaum santri, mereka memanfaatkan sunyi serta gelapnya malam sebagai sarana
untuk mengembangkan keilmuan yang didapat selama siang hari. Di tengah gelapnya
malam yang hanya di terangi dengan temaran sang rembulan serta menusuknya hawa
dingin malam hari, tidak menyurutkan semangat serta tekad mereka meraih masa depan
yang di impikan, dan secangkir kopi adalah teman setia diskusi-diskusi mereka.
Bagi kaum sarungan Ngopi adalah ibarat membaca perjalanan. Mengeja
Alif....Ba....Ta...kehidupan, dalam lautan Iqra’-Nya, memberi Mubtada’ dan
mencari Khobar-nya, memaknai Fi’il dan
mentarkib Fa’il-Maf’ulnya. Sampai ketemu dengan jelas kalam firman-Nya. Irodah
dalam ayat kauniyah-Nya. Seruputan yang dalam, menandai makna itu telah
terengguk, seruputan yang kedua dan seterusnya, sampai makna-makna itu menjadi
lukisan, dan di akhir tegukan lukisan itu telah memiliki warna. Dan tidak dapat
di pungkiri juga banyak diantara mereka yang terkapar akibat terpaan dahsyat
muhafadzah serta pelajaran dikelasnya masing-masing.
Godaan modernisasi serta kemajuan teknologi yang saat ini
sudah merambah segala dimensi dunia tidak mampu mempengaruhi pikiran para
santri. Hal inilah yang membedakan antara pendidikan di pesantren dengan
pendidikan di luar pesantren. Pesantren dengan segala aktifitasnya yang
sederhana bukannya tidak mau menerima kenyataan bahwa teknologi saat ini
sangatlah dibutuhkan. Namun, Pesantren lebih memandang kepada dampak yang di
hasilkan jika seluruh santri dibebaskan untuk menggunakan teknologi yang sedang
berkembang saat ini.
Banyak ibrah yang bisa diambil dari kebijakan yang di
terapkan di seluruh pesntren baik Pesantren yang sudah maju maupun Pesantren
yang sedang berkembang, khususnya di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah
Sukorejo Situbondo. Pesantren dengan kesederhanaannya mengajarkan kepada
seluruh santrinya tentang pentingnya hidup mandiri, dengan tidak memperbolehkan
para santri mengoperasikan alat-alat elektronik seperti handpone dan laptop,
sebenarnya pesantren mengajarkan kepada para santrinya agar dapat membiasakan
diri memanfaatkan waktu senggangnya untuk saling berkomunikasi bersama
teman-temannya.
Dan inilah masa-masa yang begitu indah bagi kaum sarungan,
yang akan selalu terkenang sampai menjadi alumni, yaitu ketika para santri
berkumpul (Cangkroan) baik di kamar, di emperan, di halaman, di taman bahkan di
kamar mandi pun tidak luput dari tempat mereka cangkroan, berbagai dinamika
obrolan dibahas, mulai dari menceritakan serta membangga-banggakan wisata
wilayah asalnya, kegaduhan hati karena hilangnya sandal di masjid maupun di
sekolah padahal baru beli satu jam yang lalu, jika ibu-ibu gelisah akibat
sembako yang lagi naik, maka santri kegelisah akibat naiknya harga nasi dari
Rp. 3.500,- menjadi Rp. 4.000,- hingga pembahasan sabun yang hilang akibat
antrian yang begitu panjang bahkan obrolan tentang pemilu Presiden pun tidak
luput dari pembahasan mereka.
Bahkan tidak menutup kemungkinan santri pun ikut dalam
pembahasan tentang negara ini. Mengingat sejarah berdirinya bangsa ini tidak
bisa lepas dari perjuangan serta peran kaum sarungan. Bahkan Santri akan menjadi
garda terdepan jika seandainya NKRI terancam sebagaimana yang di sya’irkan oleh
KH. Wahab Hasbullah dalam Hubbul Wathan nya. Hal ini dibuktikan dengan
dilaksanakannya muktamar NU ke-27 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah
Sukorejo Situbondo pada tahun 1984 yang menghasilkan keputusan bahwa NU kembali
kepada khittah-nya dan warga Nahdliyin menerima asas tunggal pancasila yang
kemudian keputusan tersebut diikuti oleh ormas-ormas lain seperti Muhammadiyah.
Ketika banyak kaum modernis yang menganggap bahwa kaum
sarungan adalah kaum yang tidak memiliki kepekaan terhadap dunia luar, baik isu
politik, sosial, maupun budaya. Pesantren dengan santri tradisionalis-nya yang
dikomandoi oleh para kiai mampu membuktikan loyalitas serta kredibilitas mereka
kepada tanah air ini.
Bahkan pesantren yang pada awalnya hanya menjadi tempat
pendidikan agama yang konservatif, pada akhirnya membuka diri dan terlibat
dalam dinamika pendidikan modern. Dalam konteks ini, tokoh yang berperan dalam
pembaharuan kurikulum pesantren adalah KH. Muhammad Ilyas dan KH. Abdul Wahid
Hasyim atas persetujuan KH. Hasyim Asy’ari. Kedua tokoh muda tersebut memasukan
mata pelajaran umum seperti membaca dan menulis latin, ilmu bumi, sejarah, dan
bahasa melayu. Pembaharuan ini sempat menimbulkan reaksi yang cukup hebat,
wajar jika pada saat itu terjadi pro-kontra perihal pesantren yang memulai
pembaharuan.
Namun buahnya bisa dilihat saat ini, yakni
perpustakaan-perpustakaan pesantren mampu menjadi laboratorium keilmuan yang
representatif dan terbuka dengan dialektika perkembangan zaman. Dari
pembaharuan kurikulum inilah kemudian pesantren bukan hanya mampu mencetak
kader-kader yang memiliki keilmuan agama yang tinggi, ber-akhlak karimah,
berkarakter, kharismatik, namun sekaligus memiliki wawasan kebangsaan dan
wacana modernitas.
Hanya saja, peran kaum bersarung sengaja disingkirkan dari
lembar catatan sejarah. Padahal, pesantren dengan para kiainya, jauh sebelum
terorganisir dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU), sudah terbukti berperan
dalam setiap gerakan sosial untuk mewujudkan cita-cita keadilan dan kemerdekaan
orang-orang pribumi.
Ada adagium yang populer, sejarah selalu diciptakan oleh
penguasa. Artinya, siapa yang menang, yang berkuasa, dialah yang berhak membuat
cerita dan menulis sejarah. Wajar jika peran kaum tradisionalis-pesantren sulit
dilacak, sewajar sejarah yang tidak pernah berkata jujur tentang peran laskar
santri yang terhimpun dalam Hizbullah, maupun laskar kiai yang tergabung dalam
Sabilillah, dalam berperang melawan penjajah.
Sejarah milik penguasa tidak mengabarkan keterlibatan serta
loyalitas KH. Abdul Wahid Hasyim dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau dalam bahasa jepangnya adalah Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai. Sejarah yang diajarkan pada anak-anak sekolah, juga tidak
mengenalkan peran “Resolusi Jihad” yang dikomandoi oleh Hadratus Syekh KH.
Hasyim Asy’ari, yang mengeluarkan fatwa “Wajib” bagi setiap muslim untuk
mempertahankan kemerdekaan.
Ada dua dampak Resolusi Jihad terhadap kehidupan bangsa dan
negara Indonesia. Pertama, dampak politik. Lahirnya Resolusi Jihad, secara
politik meneguhkan kedaulatan Indonesia sebagai negara bangsa (nation state)
yang merdeka dari segala bentuk penjajahan.
Meski setelah proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia selalu berdarah-darah untuk menghadapi
masuknya tentara Sekutu, agresi militer Belanda pertama dan kedua. Kedua,
dampak militer. Resolusi Jihad, dengan tampilnya laskar Hizbullah dan
Sabilillah, berkontribusi besar melahirkan tentara nasional. Tanpa
laskar-laskar tersebut, yang terkomando dalam Resolusi Jihad untuk
mempertahankan kemerdekaan, rekruitmen tentara nasional akan mengalami
kesulitan.
Peran kiai dan santri dalam perang kemerdekaan tidak hanya
dalam laskar Hizbullah-Sabilillah, tapi banyak di antara mereka yang menjadi
anggota tentara PETA (Pembela Tanah Air). Sebagaimana telah diketahui, sebagian
besar tentara kita (TNI) berasal dari PETA. Menurut penelitian Agus Sunyoto,
dari 60 bataliyon tentara PETA, hampir separo komandannya adalah para kiai.
Dengan demikian, dalam ketentaraan Indonesia ada kehadiran “Kaum Santri” yang
perannya sangat berarti. Hal ini, tentu saja pantas ditulis dengan tinta emas
sejarah.
Dalam catatan sejarah, terdapat beberapa kiai yang menjadi
pahlawan nasional, diantaranya : KH. Zainul Arifin dengan SK presiden No 35 Th
1963, KH. Abdul Wahid Hasyim dengan SK Presiden No 260 Th 1964, KH. M. Hasyim
Asy’ari dengan SK presiden No 294 Th 1964, KH. Zainal Musthafa dengan SK
presiden No 64 Th 1972, dan yang terbaru KHR. As’ad Syamsul Arifin dengan SK
presiden No 90 Th 2016. Selain itu, jumlah terbesar dari pemberontakan melawan
penjajah, juga dimulai dan dilakukan oleh para kiai.
Namun, apapun yang telah diberikan negara terhadap warga NU
atas jasa-jasa para pahlawannya, belumlah sebanding. Sebagaimana pernyataan
Bruinessen, bahwa Resolusi Jihad berdampak besar untuk mengobarkan semangat 10
November 1945, namun sayangnya, menurut Bruinessen, Resolusi Jihad ini tidak
mendapat perhatian yang layak dari para sejarawan.
Artinya bahwa kontribusi NU yang begitu besar dalam
mempertahankan kedaulatan NKRI ternyata dipandang sebelah mata oleh pemerintah
dari zaman kemerdekaan bahkan mungkin sampai saat ini. Catatan penting, bahwa
sebagian besar penduduk Indonesia yang beragama islam, kurang lebih Empat Puluh
jutanya, berafiliasi kepada Jam’iyyah NU. Artinya kontribusi NU bagi negara
sebenarnya sangat besar, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Maka, sudah
seharusnya kebijakan politik berpihak kepada NU, yang menjadi mayoritas dalam
rakyat Indonesia. Sayangnya, fakta mengatakan hampir sebagian besar warga NU
yang tradisional-agraris, menjadi kuli di negeri sendiri. Akses pendidikan
generasi NU begitu terbatas, kehidupan ekonomi lemah, peran politiknya selalu
termarjinalkan dan sengaja dipinggirkan dari sejarah, serta kearifan budayanya
(cultural wisdom) sengaja digerus agar semakin hilang.
Bahkan orang-orang NU yang sudah menjaga tradisi lokal sejak
berabad-abad yang lalu, harus menerima tuduhan ahli bid’ah, ahli takhayul, ahli
khurafat dsb. Masjid-masjid dari wakaf nenek moyang orang NU juga sekarang
mulai direbut oleh kelompok-kelompok Islam yang mengatasnamakan gerakan dakwah
pemurnian akidah. Karena tuduhan mereka selama ini, ajaran islam yang
didakwahkan orang NU tidak murni, bercampur bid’ah dan syirik.
Dalam konteks ini, bukan berarti NU harus menagih bayaran
atas kontribusinya terhadap bangsa. Namun sudah selayaknya, bangsa ini
sendirilah yang patut menempatkan pahlawannya di tempat mulia. Oleh karena
islamnya orang NU adalah Islam yang Indonesia, maka bagi NU menjadi Islam
seratus persen berarti menjadi nasionalis seratus persen. Rumusan tersebut
senada dengan ungkapan KH. Wahab Hasbullah ketika menjawab pertanyaan Soekarno.
Ketiaka itu Soekarno bertanya, “Pak kiai, apakah nasionalisme itu ajaran
Islam?” Lantas Kiai Wahab menjawab, “Nasionalisme ditambah Bismillah itulah
Islam. Kalau Islam dilaksanakan dengan benar pasti umat Islam akan
nasionalisme”.
Seandainya saja Resolusi Jihad tidak ada, juga laskar
Hizbullah dan Sabilillah bersama laskar-laskar rakyat lain tidak lahir untuk
menentang sekutu, mungkinkah Indonesia yang merdeka bisa kita nikmati sampai
hari ini? Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian para pengambil
kebijakan, juga para sejarawan untuk memosisikan peran NU secara proporsional.
Saatnya sejarah harus menampilkan peristiwa-peristiwa yang sebenarnya terjadi,
bukan menutupi, mengurangi atau menambahi, memanipulasi atau mengkomoditinya.
Munculnya hari pahlawan, kota pahlawan, dan peristiwa 10
November serta para pahlawan yang gugur adalah sebagian dari ruh Resolusi Jihad
yang ditiupkan oleh para kiai dan santri. Berapa pengorbanan jiwa dan raga yang
harus dibayar oleh mereka untuk membayar kecintaannya pada bangsa, tetapi apa
balasan pemerintah bagi mereka (warga NU)? Di medan politik, NU tersingkir.
Dalam hal kebijakan pendidikan, warga NU selalu dinomorduakan. Di lapangan
kerja, warga NU banyak yang tidak terakomodir karena ijazah pesantren ditolak
di dunia kerja. Bahkan ada pihak-pihak yang berambisi untuk menenggelamkan NU
dari tanah air, dengan memutus ahli waris NU dari tradisi-tradisi nenek
moyangnya.
Bangsa Indonesia semuanya harus bertanya, seandainya tidak
ada Resolusi Jihad NU yang mengobarkan jihad melawan sekutu, mungkinkah hari
ini, kita dan anak cucu kita bisa menghirup udara Indonesia dengan merdeka?
Tetapi mengapa catatan sejarah tidak menganggapnya sebagai pengorbanan. Saatnya
sekarang, semuanya menuju ruang rekonsiliasi. Ruang untuk menempatkan
orang-orang yang benar-benar berjasa dan setia kepada bangsanya sebagai
pahlawan. Bangsa ini harus memiliki kearifan untuk saling menghargai, jasa
apapun dan oleh siapapun. Apalagi jasa itu bukan sekedar menyelamatkan nyawa
satu atau dua orang, tetapi menyelamatkan kedaulatan dan masa depan bangsa yang
terdiri dari berbagai etnis, agama dan golongan.
Oleh karena itu, sudah saatnya sejarah harus berbicara
jujur, untuk mengajarkan kepada generasi bangsa bahwa Resolusi Jihad NU adalah
pengorbanan yang besar dari para kiai dan santri yang setia, dan mencintai tanah
airnya. Orang-orang pesantren selalu meyakini hadist Rasulullah SAW. bahwa
mencintai tanah air adalah sebagian dari iman. Dengan demikian, semua generasi
bangsa bisa duduk bersama untuk saling menghargai peran masing-masing.
Posting Komentar