Ilustrasi/Net |
Oleh: Hardi Alunaza SD*
Para Ahli seperti Montesquieu menawarkan suatu konsep mengenai kehidupan bernegara dengan melakukan pemisahan kekuasaan yang diharapkan nantinya dapat saling lepas di dalam tingkat yang sama. Dengan mengacu dari apa yang ditawarkan, berarti bahwa lembaga-lembaga negara dipisahkan sehingga dapat saling mengawasi dan mengontrol satu sama lain. Konsep Trias Politica sendiri merupakan ide pokok dalam Demokrasi Barat, yang mulai berkembang di Eropa pada abad XVII dan XVIII.
Pada dasarnya kekuasaan di suatu negara tidak bisa hanya dilimpahkan di satu lembaga yang independen saja. Oleh karenanya di dalam konsep Trias Politica itu sendiri dikenal ada tiga pembagian pemerintahan yaitu: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Disini dapat dilihat bagaimana lembaga-lembaga tersebut seperti legislatif yang bertugas sebagai pembuat undang-undang, eksekutif yang bertugas sebagai pelaksana Undang-Undang, dan yudikatif yang bertugas sebagai pelaksana peradilan yang menjadi satu kesatuan sistem yang tidak dapat dipisahkan.
Dengan adanya lembaga Legislatif, diharapkan kepentingan rakyat dapat terwakili secara baik karena itu merupakan cerminan dari kedaulatan rakyat. Selain itu legislatif juga mempunyai fungsi sebagai check and balance terhadap dua lembaga lainnya agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Dengan adanya proses check and balance jalannya pemerintahan bisa berjalanseefektif dan seefisien mungkin. Penduduk Indonesia menginginkan adanya jaminan bagi kemerdekaan dan keselamatan individu dari tindakan sewenang-wenang para penguasa dalam menjalankan pemerintahannya. Dan hal ini hanya mungkin tercapai jika diadakan pemisahan mutlak antara ketiga kekuasaan tersebut. Ide pemisahan kekuasaan tersebut dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik.
Jika dilihat dan mengacu pada Trias Politica (Demokrasi ala Barat), seharusnya perpolitikan di Indonesia bisa mengalami kejayaannya seperti dan sesuai harapan masyarakat Indonesia. Namun, demokrasi yang menjadi tujuan dari sistem yang digunakan sepertinya masih jauh dari apa yang diharapkan.
Menurut Pasal 1 ayat 1, Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut UUD. Sistem pemerintahannya yaitu negara berdasarkan hukum. Dengan kata lain, penyelenggara pemerintahan tidak berdasarkan pada kekuasaan lain. Dengan berlandaskan pada hukum ini, maka Indonesia bukan negara yang bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas) yaitu ada pembagian-pembagian dalam pelaksanaan kekuasaannya.
Semenjak lahirnya reformasi pada akhir tahun 1997, bangsa dan negara Indonesia telah terjadi perubahan sistem pemerintahan Indonesia, yaitu dari pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralisasi atau otonomi daerah. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di segala lini pemerintahan masih menjadi PR bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia. Pada tingkat Eksekutif misalnya, banyak kebijakan yang diambil sangat kontroversial dengan realitas dan kehidupan yang ada di masyarakat kenaikan BBM contohnya.
Dengan demikian apa yang telah menjadi ketetapan dalam UUD 1945 dan apa-apa yang telah menjadi ketetapan dalam lembaga dan sistem pemerintahan,perpolitikan di Indonesia seharusnya dapat dikontrol sedemikian rupa untuk mencapai puncaknya (Demokrasi). Tapi justru apa yang telah menjadi ketetapan hanya hitam di atas putih, realitas yang terjadi jauh dari apa yang diharapkan. Dalam kenyataannya efektivitas dalam pelaksanaan masih kurang maksimal. Salah satu indikatornya adalah korupsi yang terjadi disegala bidang masih menjadi masalah besar di Indonesia.
Demokrasi hanya menjadi utopis belaka dan check and balance pun belum bisa mengena tepat pada dasarannya. Sudah sangat jelas sebenarnya tentang Partai Politik seperti apa yang ada di dalam UU No. Tahun 2008, bahwa fungsi Partai Politik adalah sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas; penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat; partisipasi olitik warga negara Indonesia; dan rekrutmen politik. Melalui partai seharusnya dapat mewakili aspirasi rakyat, tapi justru dengan adanya banyak partai, banyak pula kepentingan-kepentingan yang diperjuangkan dan banyak pula kepentingan-kepentingan yang bertabrakan satu sama lain. Tidak bisa dipungkiri bahwa apa yang terjadi di dalam perpolitikan Indonesia sangatlah jauh dari tujuan sebenarnya.
Konsolidasi demokrasi masih menjadi topik dan masalah utama dalam dinamika politik di Indonesia. Dengan melihat umur Indonesia seharusnya Demokrasi yang menjadi tujuan utama dapat tercapai sepenuhnya. Walaupun demikian, memang ada beberapa faktor dan indikasi mengapa demokrasi yang menjadi tujuan utama belum bisa sepenuhnya tercapai (demokrasi yang sebenarnya) di antaranya: Kelompok kepentingan, kelompok penekan serta budaya politik. etiga kelompok di atas mempunyai pengaruh besar dalam dunia perpolitikan di Indonesia, terutama dalam pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Adanya kelompok kepentingan yang mengusung dan ngin mengartikulasikan kepentingannya sering kali bertabrakan dengan kelompok penekan, yang mana akan menghasilkan perdebatan panjang dalam pengambilan kebijakan. Budaya politik pun menjadi salah satu indikator penyebab konsolidasi demokrasi, faktanya masih banyak masyarakat yang kurang paham bahwa setiap individu mempunyai pengaruh dalam pengambilan dan keputusan pada sebuah kebijakan, golput atau asal memilih dalam pemilu. Partai koalisi dan oposisi juga masih menjadi suatu momok dalam pemerintahan Indonesia.
Pemerintahan yang baik, seharusnya ada check and balance dan pembagian kekuasaan yang tepat. Namun itu masih sangat sulit dicapai oleh Indonesia. Adanya pembagian kekuasaan seperti Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif tidak menjamin pemerintahan sebuah negara akan baik. Tentunya banyak aspek dan segi yang harus dilihat yang nantinya menjadi acuan untuk melaksanakan pemerintahan di sebuah negara. Tantangan terbesar bangsa ini adalah karena terlalu banyak golongan yang apatis dan bertindak terlalu pragmatis. Padahal, jika itu dapat diperangi, tidak mustahil Indonesia akan menjadi bangsa yang lebih baik.
*Penggiat Kajian Ilmu Politik dan Ilmu Hubungan Internasional/Staf Pengajar Program Studi Hubungan Internasional Fisip Untan.
Posting Komentar