KtHx54QkBr383xDR2xK8jWF4FPsDN0wkvFCwXh9V
Bookmark

Pemuda dan Pemilu yang “Millenial Banget”

Ilustrasi/Net
 Oleh: Kholif Badarul*

Pemilihan Umum atau disingkat dengan Pemilu adalah salah satu ajang untuk memperebutkan kursi jabatan mulai dari yang tertinggi yaitu Presiden hingga yang paling rendah Kepala Desa. Awalnya Pemilu muncul saat berlangsungnya demokrasi pertama di Yunani Kuno pada abad ke-IV sebelum Masehi,dimana pada saat itu rakyat mendapatkan hak-hak politiknya pada pemerintahan. Rakyat Yunani Kuno memilih secara langsung pemimpin yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka. Akan tetapi, pemilihan secara langsung tersebut dengan adanya rakyat dan calon pemimpin ditempat sudah tidak bisa dilaksanakan lagi saat ini karena keadaan pada masa itu dengan sekarang sangat jauh berbeda. Dahulu penduduknya hanya berjumlah sedikit dan wilayah Yunani merupakan sebuah “Negara Kota/Polis State”, berbeda dengan negara pada saat ini yang kita kenal jauh lebih besar dan kompleks baik dilihat dari wilayah maupun jumlah penduduknya.

Sejarah Pemilu selanjutnya terjadi di Romawi Kuno, pada awalnya negara tersebut berbentuk Negara Monarki atau Kerajaan dengan didalamnya terdapat rakyat dari berbagai suku bangsa. Pemerintahan Monarki ini didampingi oleh suatu Badan Perwakilan dengan anggotanya yang hanya terdiri dari kaum Patricia (Bangsawan/Ningrat). Pada pemerintahan terakhir Romawi Kuno telah bermunculan bibit-bibit yang menginginkan “Negara Demokrasi”, puncaknya yaitu raja terakhir terusir dari tahta kepemimpinan. Berikutnya adalah terjadi pertentangan antara kaum Patricia (Bangsawan/Ningrat) dengan kaum Plebeia (Rakyat Jelata) karena kaum Patricia merasa bahwa mereka lebih berhak untuk menjadi Badan Perwakilan pada saat itu hingga pertentangan mereka diselesaikan dalam perundingan 12 meja. Hasil dari perundingan mereka adalah pemerintahan dipegang oleh dua orang Konsul bersama dengan Dewan Pemerintah menjalankan sesuai dengan UU. Dengan demikian, Romawi Kuno telah mengalami perubahan drastis yang semula Negara Monarki/Kerajaan menjadi Negara Demokrasi,namun pada saat keadaan darurat misalnya terjadi peperangan maka kekuasaan sementara akan dipusatkan dan diambil alih oleh Diktator yang memiliki kekuasaan besar dan mutlak. Jika keadaan sudah kembali normal maka pemerintahannya kembali lagi ke tangan dua orang Konsul dan Dewan Pemerintah.

Kemudian pada abad ke XIX mulai bermunculan partai-partai politik yang berfungsi sebagai wadah untuk menampung aspirasi dan suara rakyat. Dengan terbentuknya partai politik ini maka muncul istilah yang namanya “Demokrasi Modern”. Saat ini banyak negara di dalam konstitusinya tertulis bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Ini berarti bahwa kekuasaan pemerintah bersumber pada kehendak rakyat. Prinsip dasar inilah yang kemudian dikenal sebagai prinsip demokrasi modern. Demokrasi ini tidak hanya didefinisikan pemerintahan dijalankan oleh rakyat,tetapi maksud dari pemerintahan oleh rakyat seperti yang di kemukakan oleh Abraham Lincoln adalah orang yang terpilih untuk menjalankan pemerintahan dan mereka dipilih sesuai dengan pilihan rakyat. Pelaksanaan kedaulatan rakyat ini dilakukan dengan Pemilihan Umum untuk memilih calon-calon legislatif sebagai jembatan aspirasi rakyat untuk menjalankan Pemerintahan.

Pemilu pertama di Indonesia dilaksanakan pada tahun 1955 yang pada saat itu  negara Indonesia baru berusia 10 tahun. Saat itu Pemilu dilakukan sebanyak 2 kali yaitu yang pertama pada tanggal 29 September 1955 dan yang kedua pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota DPR dan Konstituante. Hasil Pemilu tersebut adalah terpilihnya 257 anggota DPR dan 514 anggota Konstituante (seharusnya 520 namun Irian Barat memiliki jatah untuk melakukan pemilihan sendiri sebanyak 6 kursi) dengan jumlah 29 partai yang mengikuti Pemilu. Pemilu ini dilaksanakan pada saat pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harapan menggantikan Perdana Menteri sebelumnya yaitu Ali Sastromidjojo yang mengundurkan diri. Namun sangat disayangkan kisah Pemilu Tahun 1955 tersebut hanya menjadi “Catatan Emas” dalam sejarah Indonesia karena 4 tahun berikutnya yaitu pada tahun 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi pembubaran Konstituante. Setelah Pemilu pertama tahun 1955,Indonesia baru melakukan Pemilu kembali tanggal 5 Juli 1971 pada jaman Orde Baru di bawah Pemerintahan Presiden ke-2 yaitu Soeharto. Pada Pemilu ini terdapat 9 Partai Politik dan 1 Organisasi Masyarakat yang berpartisipasi dalam Pemilu.

Pada tahun 2019 ini Pemilu diadakan lagi dan kampanye pun sudah mulai dimana-mana, terlihat dari baliho di jalan hingga kalender tahun baru yang dibagikan gratis ke warga. Beberapa bulan lagi akan diadakan Pemilu untuk memilih mulai dari anggota Legislatif hingga Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Bagaimana peran seorang pemuda dalam menyikapi hal-hal tersebut?? Apakah seorang pemuda bersikap apatis hingga akhirnya golput dari pemilu karena paslon-paslon yang ada tidak menarik hati para pemuda dikarenakan mereka hanya menebarkan janji manis di mulut saat kampanye namun hilang ditiup angin saat mereka sudah duduk dikursi jabatan dan seolah-olah tak pernah berjanji. Pemuda ingin pasangan calon yang mewakili jiwa muda yaitu terbuka dan kerja nyata bukannya hanya sekadar janji-janji formalitas pada saat kampanye. Jika pasangan calon ingin meraih suara dari jutaan pemuda maka terbukalah dalam berpolitik. Banyak para politikus menggunakan gaya kampanye nya dengan sedikit lebih gaul dan anak muda banget dengan memanfaatkan media sosial yang saat ini banyak digunakan masyarakat agar dapat lebih mudah untuk menjangkau dan meraih suara. Apakah berkampanye di media sosial tidak ada kendala dan hambatan? Namun fakta berbanding terbalik, berkampanye di dalam media sosial sangat rentan terhadap berita-berita hoax dan bullying dari pendukung pasangan calon lainnya.

Disini kita ketahui bahwa Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang maju pada tahun 2019 ini adalah : Joko Widodo-KH.Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Seperti yang kita ketahui bahwasanya di media sosial marak tersebarnya hoax yaitu berita yang memicu perdebatan dan saling hujat antara pendukung dari dua kubu tersebut. Kita masih ingat dengan kejadian mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama saat ia berpidato entah itu disengaja ataupun tidak terhadap Kitab ummat Islam yaitu Al-Qur’an hingga terjadilah demo yang besar-besaran untuk memenjarakan dan juga menurunkan Ahok sapaan akrabnya dari jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta. Mulai saat itu masyarakat Indonesia khususnya yang bukan etnis Tionghoa sangat rasis dan juga anti terhadap mereka diranah politik sehingga etnis Tionghoa enggan untuk maju sebagai pasangan calon Legislatif dan juga jabatan lainnya. Kita telah mengetahui bahwa sebelum ia menjadi Gubernur dulu ia pernah menjadi Wakil Gubernur bersama dengan Jokowi untuk duduk di kursi nomor 1 dan 2 DKI Jakarta,ini berarti ada kedekatan yang kuat antara Jokowi dan Ahok. Jadi perbuatan Ahok tersebut akan mempengaruhi elektabilitas Jokowi untuk maju dalam Pemilihan Presiden pada 2019 karena hubungan yang kuat antara mereka. Karena hal tersebut maka trending tagar #2019GantiPresiden,orang awam tidak mengetahui alasan dari tagar tersebut mereka hanya ikut-ikutan karena hal tersebut juga dilakukan oleh orang sekitar mereka baik dari teman,rekan dan keluarga mereka. Inilah menjadi persoalan bagi generasi muda kita dalam menyikapi sesuatu jangan mudah ikut-ikutan dalam bertindak namun cari dan telaah dulu dengan sebenar-benarnya dan sejelas-jelasnya.   

Melihat sejarah yang telah terbentuk dalam hakikat berpolitisasi di Indonesia memberikan gambaran bagi kita sebagai seorang pemuda dalam menyikapi perpolitikan dimasa modern ini. Kesadaran akan tanggung jawab serta perubahan harus dimiliki oleh pemuda Bangsa. Masa kini, sekarang maupun masa yang akan datang akan menjadi bagian dari perjalanan kita, akan menjadi milik kita dalam periode perjuangan terhadap hak-hak kesejahteraan. Semua hal tersebut akan kita ciptakan melalui partisipasi kita dalam pemilu 2019. Bukan hanya sekadar mengandalkan hak pilih dan mengeluarkan suara tanpa berpikir keras. Namun selayaknya, Kita juga harus melihat kilas balik sejarah politik yang sejatinya membentuk proses perpolitikan yang lebih baik bagi bangsa dan negara. Di Era ini bukan lagi zamannya kita diperalat oleh oknum politik yang tidak bertanggung jawab agar kepentingan para oknum politik kotor dapat terwujudkan. Inilah mengapa Era pemuda saat ini seringkali disebut sebagai era yang membutuhkan pemimpin yang millennial ‘Banget’,yaitu pemimpin yang terbuka dan kerja nyata dalam berpolitik. Sekarang adalah saatnya seorang pemuda untuk ikut andil dalam perpolitikan yang ada di Indonesia dengan terlibat dalam menyikapi Pemilu. Kita jangan mudah untuk terprovokasi terhadap suatu hal yang belum ada kejelasannya,saatnya seorang pemuda harus berfikir kritis dan cerdas dalam menyikapi politik yang sedang terjadi. Bukan malah menjadi sebuah busa yang hanyut terbawa arus yaitu seperti mudah terpengaruh terhadap hasutan. Dan bagi para paslon-paslon politik yang mencalonkan diri ayo rubah cara kerjamu saat sudah menduduki jabatan agar masyarakat terutama pemuda tidak apatis terhadap politik karena telah di PHP-in oleh janji-janji manis kalian saat kampanye namun tak terealisasikan saat sudah menjabat. Semuanya dapat dilakukan mulai dari diri kita sendri,ayo kita sama-sama berubah kearah yang lebih baik lagi agar amanah para pejuang untuk menjaga dan membangun bangsa ini dapat terlaksana dengan baik dan menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kuat dan sejahtera.
JIWA MUDA DALAM PEMILU

*Prodi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Tanjungpura Pontianak
Posting Komentar

Posting Komentar