PADANG 12
Oleh : Sukardi (Adi TB)
“Yaaah, bensin habis...”
Kami menjadi panik, area yang
kami lewati sangat gelap.
“Apa itu Jon?” Udin kaget dan
mundur 1 langkah.
“Tenang Din, itu hanya tikus yang
lomba lari, haha” aku tertawa kecil, melihat tingkah si Udin.
Hati kembali tenang dan
melanjutkan perjalanan. Baru separuh jalan, aku melihat bayangan putih. Mungkin
itu hanya khayalanku saja. Aku jadi ingat, tadi aku berangkat tidak baca doa,
dengan santai dan mirip takabbur. Aku baru ingat cerita Nek Wati, kalau lewat
di jalan ini, harus permisi dan jangan takabbur. Aku segera baca doa dan minta
keselamatan untuk sampai tujuan. Bayangan putih tadi semakin mendekat, dan
sekarang terlihat jelas.
“Udin, mau kemana?” Suara dari
sesosok yang kuanggap bayangan putih itu.
“Mau ke Kendawangan” jawabku
memotong perkataan Udin. ia masih gemetaran.
“Mampir dulu lah ke gubukku”
tawarnya dengan nada lembut.
“Kamu Aisyah kan?” Tanya Udin
dari balik kabut, maklum, keadaan jalan berkabut.
“Haha, ia, Makasih ya Din, kamu
masih mengingatku” kata gadis tersebut, sambil tersipu.
“Ya, Udin kan memiliki daya ingat
seribu persen, haha” Aku meledek Udin, yang masih dalam keadaan gemetaran.
“Emm, Din, kamu kenal dia dari mana?”
tanyaku lagi dengan kepo, santai dan
mirip berbisik.
“Anu Jon, kemarin aku mampir di
salah toko yang tidak jauh dari jalan ini, dan bertemu ia, sempat kenalan
sebentar, orangnya ramah”. Jelas si Udin dengan nada masih gemetaran.
“Din, udah lah gemetarannya,
malulah diliat cewek itu?” guyonku.
Udin hanya mengangguk. Kami
berjalan mendekati Aisyah.
“Kenapa motornya didorong?” tanya
Aisyah dari arah belakang kami.
“Kami kehabisan bahan bakar”
jawab kami kompak.
“Ow, Aisyah ada bensin, kebetulan
kemarin beli gak kepakai semua, sisa 1 liter”
“O gitu, sip lah, kami minta
tolong ya” wajah kami sedikit memelas.
“Hem.. ayoklah, ke rumah” dengan
semangat, Aisyah mengajak kami kerumahnya.
“Jauh ka ?” tanya kami kompak.
“Tidak jauh. Tuuh…” Aisyah
menunjuk rumahnya, yang berjarak sekitar 200 meter dari posisi kami.
Sambil berjalan, kami tidak
banyak bicara, aku dan Udin hanya melihat pemandangan sekitar, rumah-rumah
warganya megah, dan banyak bunga-bunga. Suasana yang damai dan asri. Rumah
Aisyah tampak sepi.
“Pada kemana orang rumah ni Sya?”
tanyaku penasaran.
“Keluargaku lagi pergi ke acara
nikahan, tu yang ada bunyi musik dangdut”.
“Ow, dari kemarin ya
dangdutannya?, kedengaran ke kampungku, rencana kami mau mampir nanti.” Basa basi si Udin yang udah hilang
gemetarannya.
“Iya, singgah la. Tidak jauh”
saran dari Aisyah.
Kami tidak berlama-lama, setelah
mengisi bensin ke dalam tangki motor, aku dan Udin mengeluarkan uang 5
ribuan, kami patungan, jadi 10 ribu.
“Ni Aisyah ada uang buat bayar
bensinnya”
“Tak usah lah, Aisyah sedekah
aja”
“Kami merasa tak enak ni”
“Santai aja, perjalanan kalian
masih jauh kan?, uangnya pakai untuk jajan aja”
“Bener ni?” Udin memastikan.
“Iya bener, ni ada oleh-oleh buat
emaknya Udin”
“Apa ni Syah?” Tanya Udin.
“Ada kunyit dikit, buat rempah
dapur, tadi kami panen”
“O ya, makasih ya”
Kami pamitan akan melanjutkan
perjalanan. Aisyah tersenyum dan masuk ke dalam rumah. Kunyit sekantong kecil
tadi ku masukkan ke dalam tas.
“Kau mau kah kunyitnya?”
“Boleh lah Din, buat masak ikan,
hehe”
“Oke lah, nanti sampai rumah,
kita bagilah”
Aku pun memasukkan kunyit
tersebut ke dalam tas ransel, dan kami tancap gas. Kali ini dengan doa yang
lebih kusyuk lagi, mudah-mudahan ndak ada kendala.
****
Mentari di pagi ini terbit dengan
cahaya yang romantis. Lembut bersama angin sepoi-sepoi. Tidak ada suara ribut,
maklum hari ini, hari libur Nyepi. Biasanya, ada saja suara teriakan anak-anak
SD yang berlalu lalang. Bagiku, bukan sesuatu yang menjengkelkan, malahan
menjadi sesuatu yang patut disyukuri, suara anak-anak SD itu menjadi alarm
pribadiku, jadi aku pasti bangun. Kalo hari minggu, karena sepi, ya saya
kesiangan lagi bangun tidurnya. Harap dimaklumi. Hehe..
“Din, bangun“
“Masih gelap bah”
“Haha, gelap apa, tengoklah,
anak-anak SD sudah huru hara di depan rumah tu”
Udin bangkit dari tidurnya, dan
mengusap-ngusap wajah dan mata, seperti bayi yang baru bangun tidur. Ditambah
dengan senam-senam kecil.
“Jon, kau ada dengar atau melihat
acara musik dangdut kah? pas kita di
jalan, tadi malam?”
“Yang setelah dari rumah Aisyah
kah?”
“Iya, ada gak?, aku kan fokus
mengemudi”
“Gak ada Din, semakin dekat
lokasi, musiknya makin jauh, dan setelah kita masuk di daerah Pesaguan,
musiknya masih ada.”
“Wah, sungguh aneh. Mana kunyit
kita Jo” pinta Udin dengan penuh penasaran.
Aku segera menyambar tas yang ada
disampingku. Perlahan-lahan aku buka. Udin sepertinya sudah gak sabaran.
“Din,! Lihat!”
“Haaa?? Emas”
“Iya, ini emas, coba gigit”
Udin mengigit emas tersebut, dan
ternyata asli.
“Kemana kunyitnya?”
“Meneketehe”
“Emm.. tak jadilah kau masak ikan
Jon”
“Inikah yang diceritakan Nek Wati?”
“Apa itu Jon?”
“Padang 12”
Kami terdiam, menatap satu sama
lain, Udin gemetaran lagi, tanganku
menarik sarung, dan kembali tidur, dalam hatiku berkata “Padang 12”.
Catatan:
Padang 12 adalah suatu daerah
yang terletak di antara kecamatan Kendawangan dan Kecamatan Pesaguan, Kabupaten
Ketapang, Kalimantan Barat. Sampai saat
ini penuh misteri. Saya sungguh penasaran dan belum pernah ke daerah tersebut.
Tidak semua orang bisa melihatnya, kecuali yang berjodoh atau kebetulan dan
dalam keberuntungan.
Penduduk yang tinggal di Padang
12, disebut dengan orang kebenaran atau orang Limun. Sosoknya tidak berbeda
dengan wujud manusia pada umumnya. Hanya saja, mereka tidak memiliki belahan
diantara bawah hidung dan di atas bibirnya.
Kota ini ghaib dan mewah, bagi
orang awam, wilayah yang terletak diantara Kecamatan Kendawang dan Pesaguan ini
hanya tanah kosong seluas 12 KM persegi yang dipenuhi oleh pohon pinus dan
ilalang layaknya sebuah padang rumput. Itulah alasan mengapa daerah ini disebut
Padang 12.
Seperti yang dituturkan oleh Raja
Dangdut, Bung Haji Rhoma Irama, beliau pernah manggung di Ketapang 2 kali. Yang
pertama di Padang 12, beliau kagum
dengan perkembangan pembangunan daerah itu.
Kemudian manggung yang kedua, di Kota Ketapang, beliau sangat heran,
karana kondisi kota tersebut sangat berbeda dengan keadaan pertama kali beliau
manggung di Ketapang.
Mereka terkadang juga pergi ke
pasar yang ada di wilayah Ketapang untuk membeli kebutuhan mereka. Uniknya,
mereka tidak selalu menggunakan uang sebagai alat pembayaran. Terkadang, Orang
Kebenaran ini menggunakan kunyit atau rempah yang biasa dijadikan bahan masakan
sebagai alat tukar. Dan keesokannya berubah menjadi emas. Begitu juga ketika
memberi bantuan atau imbalan, kunyit tersebut berubah menjadi emas.
Banyak asumsi tentang orang
kebenaran ini, ada yang mengatakan orang-orang suci yang jujur, dan ada pula
yang mengatakan mereka ialah jin Islam yang sudah lama menetap di padang 12.
Wallahua’lam.
Percaya atau tidak, tempat ini
ada, dan bernama PADANG 12.
Posting Komentar