Ilustrasi/Net |
Sara adalah kepanjangan dari Suku Agama Ras dan Antar Golongan. Secara pengertian sara adalah pandangan dan tindakan yang dilakukan berdasarkan identittas yang meliputi suku, agama dan ras. Isu sara ini menjadi isu yang menarik untuk dibicarakan didalam suatu pemilihan calon pemimpin terutama pemilihan umum yang akan mendatang ditahun 2019. Dari sisi budaya, keberagaman ritual adat budaya dan agama yang dijalanidan dihidupkan oleh ratusan etnis yang ada di Indonesia.
Para politisi dan kandidiat biasanya menggunakan berbagai macam pendekatan terhadap etnisitas menjelang pemilihan. Oleh karena itu pilkada menjadi pertarungan yang melibatkan segala kekuatan dan sumber daya yang ada. Kuatnya kepentingan dan ketatnya rivalitas diantara para peserta dapat menimbulkan terjadinya pelanggaran. Jenis pelanggaran yang dikhawatirkan banyak pihak diantaranya penggunaan isu SARA yang berpotensi memecah belah masyarakat Indonesia.
Definisi dari isu adalah berita atau kabar yang tidak diketahui sumber dan kepastiannya, atau juga bisa disebut kabar angina, desas – desus. Isu bisa meliputi masalah, perubahan, peristiwa, situasi, kebijakan atau nilai yang tengah berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Suku Agama Ras dan Antar Golongan atau yang biasa disebut sara adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentiment identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Sara juga adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentiment identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan sebagai tindakan sara.
Di Indonesia sendiri isu sara sangat sering terjadi baik di media sosial maupun dikehidupan nyata. Dari waktu ke waktu isu sara seakan akan menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan pada setiap pemilihan calon pemimpin yang diadakan di Indonesia sehingga hal itu dapat memunculkan konflik yang dianggap sensitive. Isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) akan kembali dimanfaatkan pada kontestasi Pemilu 2019. Terutama, saat kampanye untuk pemilihan presiden (Pilpres). Isu sara sendiri lebih sering terjadi di jejaring media sosial dan itu membuat kami para pemuda menginginkan agar pilpres serentak yang akan diselenggarakan pada 2019 bebas akan isu sara yang dapat menyebabkan konflik. Kekhawatiran publik bahwa isu-isu SARA masih akan ”laku” dalam kampanye pemilu nanti ini tidak bisa dilepaskan dari tingginya keyakinan responden terhadap keberadaan peserta pemilu yang menggunakan isu SARA. Selain isu SARA, sebagian besar responden juga masih mengkhawatirkan munculnya kembali kampanye hitam yang menyerang lawan dengan menyebarnya berita-berita bohong (hoaks) dalam masa kampanye pilpres mendatang.
Oleh sebab itu, Pemuda sebagai generasi muda diharapkan dapat mengambil peran aktif untuk mencegah berkembang-luasnya sentimen SARA di tengah masyarakat sehingga dapat mencegah berkembangnya paham intoleransi. Munculnya sikap dan perilaku intoleran di sebagian masyarakat, perlu mendapat perhatian ekstra bukan hanya dari kalangan pemuda tetapi diharuskan juga dari aparat keamanan, pemerintah, dan seluruh elemen masyarakat. Apalagi, saat ini pengaruh radikalisme global mulai menyusup ke Indonesia. Seluruh elemen masyarakat harus menyadari ancaman ini. Apalagi, pengaruh paham radikalisme dan ekstremisme dari luar telah lama disusupkan ke Tanah Air. Ironisnya, paham gerakan ini menjadikan pelajar dan generasi muda sebagai sasaran oleh orang – orang yang tidak bertanggung jawab.
Hal itu tak lepas dari karakter kaum muda yang tengah berjuang mencari jati diri. Jiwa muda yang belum mapan secara mental dan mudah terombang-ambing oleh pengaruh luar, menjadi tempat persemaian yang subur bagi paham ideologi tertentu.
Apalagi, jika paham tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga seolah menawarkan sesuatu yang dianggap mampu menjadi solusi atas persoalan yang dihadapi kaum muda saat ini. Penggunaan media berbasis internet, juga tak lepas dari kuatnya teknologi informasi di kalangan pelajar dan generasi muda. Ruang penyebaran melalui media sosial dan media massa berbasis internet seolah tanpa batas dan lebih leluasa. Hingga kini tak ada aturan yang sepenuhnya mampu menutup celah penyebaran informasi-informasi yang menyesatkan. Di era global sekarang ini sudah semestinya paham ekstremisme dan intoleransi telah mampu untuk dicegah.
Hal ini, dimaksudkan agar kekerasan atau konflik yang bermuatan SARA dapat diminimalisir sekecil mungkin. Pemuda sebagai tonggak generesi bangsa harus berperan penting dalam mencegah agar tidak terjadinya konflik-konflik SARA tersebut. Tapi bukan berarti negara, dalam hal ini pemerintah tinggal diam dan hanya memberikan sepenuhnya kepada pemuda. Pemerintah pun harus mengambil andil di dalamnya demi terciptanya ketentraman dan keamanan bangsa dan negara Indonesia kita ini.
*Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional Universitas Tanjungpura Pontianak
Posting Komentar