KtHx54QkBr383xDR2xK8jWF4FPsDN0wkvFCwXh9V
Bookmark

Alam Tuk Mengenang Sajak Sebait Nama

Ilustrasi/Net

Oleh: Rezky Apriliantini*

Adakalanya Alam berpihak pada pijakan kaki manusia, adapula masanya alam akan menjadi penyerang dalam hidup manusia. Naluri bumi manusia sangat memengaruhi alam semesta, bahkan disaat terdesak sekalipun.  Seiring rintangan dahaga waktu akan selalu menemani perjuangan manusia disetiap periodenya.

Terkadang memanusiakan manusia sudah jarang tuk diterapkan. Kontradiksi pemikiran menciptakan hakikat kebencian yang tak lazim tuk didengar. Disaat manusia hidup disebuah kebisingan beban hidup maka semua rasa dan citra yang terdengar hanyalah bersifat abstraksi belaka.

Aku, kamu dan mereka yang menjadi bagian dari kita yang masih bisa menikmati hidup hari ini bersyukurlah, karena bumi dan seisinya masih mau menerima kita. Alam masih ingin berbagi kisah dengan kita yang bernyawa, dunia masih ingin menyambut mentari yang akan bersinar di esok hari. Dan, aku masih ingin berdamai dengan alam atas nama-nama yang terdengar diantara kisah kita.

Dini hari. . . Endapan air mata yang tertahan memilukan hasrat dalam nadi ini, seakan membawa luka yang menyayat raga beribu kali. Tak terhitung berapa kali jumlah teriakan yang ingin ku lontarkan pada sang pemilik jiwa, namun apa daya semuanya kini hanyalah sebuah ilusi tak terarah.

Perkenalkan aku seorang gadis kecil berpemilikan nama rahasia.. kata ibu aku harus merahasiakan nama ini hingga akhir dunia dusta menanti. Ntahlah.. aku tak terlalu menghiraukan perkataannya saat hari pertama bersekolah, namun semuanya terasa hening ketika hembusan angin menerpa pikiranku untuk menyadari betapa dalamnya makna perkataan ibu yang sesederhana itu.

Kau tahu? Aku bahkan tak pernah menyadari bahwa kisah hidup akan sesulit ini.. bukan karena harta yang terbengkas, bukan karena susahnya sesuap nasi kudapat, bukan pula karena fisik yang kurang pada kepunyaanku. Ini semua karena aku tak bisa menentukan posisi ku sebagai seorang anak untuk menilai keberadaan posisi ayah dan ibu yang harusnya seperti mereka yang bahagia.

Hidupku penuh kebahagiaan, meratapi hari indah saat menikmati suasana liburan bersama mereka. Ayah dan ibu sangat menyayangiku sewaktu aku kecil, mereka sangat mencintaiku sebagaimana kini aku mencintai mereka. Sejak kecil pola pikirku tertanam bahwa kini aku merasa cukup bahagia karena memiliki mereka.

Namun, mengapa semenjak khalayak ramai mengerumuniku dengan berbagai cercaannya mampu menghapuskan memori terindah yang pernah kumiliki. Mampu mendongkrak jiwaku untuk memberontak pada mereka. Mampu menampar sayatan hati untuk berpola pikir tak terarah. Dan mampu, mengubahku menjadi manusia liar tak seperti biasanya.

Hatiku sejak kejadian itu, terus meronta kepada alam semesta seakan jiwa dalam raga ini ingin berkata kasar pada mereka. Aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa, kini yang bisa kupersalahkan hanyalah diri sendiri. Mengapa aku telat menyadarinya, atau mungkin aku merasa baik-baik saja pada awal mula hidupku bersama mereka.

Momen disaat aku berbahagia bersama mereka mampu menutup pandanganku tentang nafsu bejat dunia, hal inilah yang membuatku yakin sebetulnya keadaan kami sama normalnya seperti mereka yang bahagia. Hanya karena perbedaan yang terletak pada status orang tuaku keduanya adalah seorang wanita bukan berarti itu menjadi sebuah penghalang bagi kami untuk tetap bahagia dan berhak mendapat pengakuan ditengah-tengah kehidupan masyarakatserta kebajikan alam. Aku tetap berusaha meyakinkan diri bahwa aku baik-baik saja sehingga aku tak perlu menyalahkan kondisi yang alam semesta takdirkan padaku.

Berujung pada sebuah kisah hidup yang kekal takkan pernah menunjukkan sebuah keabadian dengan murninya. Hujatan masyarakat yang terus beriringan dengan kehidupan ku sehari-harinya menjadi tambalan jiwa tuk terus berdiri tegap berteguh pada pendirian dan terus berusaha untuk mengontrol pola pikir bahwa aku sama seperti mereka.

Yah.. seorang anak memiliki orang tua yang hidup serba berkecukupan pola pikir sederhana ini akan menjadi temanku dibawah alam sadar. Pernah disuatu ketika aku berhenti berpikir tuk terus menyendiri ditengah khalayak ramai. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk ikut bergabung bersama mereka, mencoba berbaur sebagaimana mestinya seperti anak-anak normal lainnya, bermain seadanya bahagia terawa satu sama lain. Membicarakan hobi yang sama dan bahkan saling bertujar cerita mengenai topik hangat yang sedang dibahas.

Siapa sangka, dunia pun tetap mengetahui aku seorang anak yang tak berkehidupan normal diatas ambangku hidup bersama orang tua yang ‘Berbeda’. Aku bertanya-tanya lagi dalam diri “apakah alam sedang mengutukku?” seketika keheningan suasana mendambakan ketenangan yang mendalam.

Hingga sampai detik ini tak ada yang bisa kupersalahkan, rasa syukur tetap kupanjatkan dan tetap kehidangkan dalam hati. Karena mereka aku ada, karena mereka aku terbiasa, dan karena mereka aku bahagia.

Suatu hari aku berkata pada ibu bahwa aku ingin menjadi seorang penari balet yang terkenal dan akan mendapatkan pasangan hidup yang setia. Ibuku menjawab, berbahagialah jangan sampai seperti kami. ‘karena kami kau terluka dan ingatlah selalu alam tak pernah ingin berbagi kisah dengan mereka yang selalu bersedih atas penyesalannya’, kutipan perkataan ibu yang melekat dalam pikiran terus membuatku tak kuasa membendung air mata yang bertumpahan membasahi pelupuk mata.

Begitu pula sama halnya dengan ayah yang slalu mendukungku. Meskipun aku tahu ayah bukanlah ayah pada umumnya, namun wanita itu selalu berusaha untuk menjadi sosok Ayah yang mampu menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab. Dan karena merekalah jutaan kali hatiku merasa damai. Mereka adalah bagian dari hidupku, dan aku adalah bagian dari hidup mereka.

Pada akhirnya alam akan selalu mengikuti aturan mainnya, mereka yang bernyawa akan selalu menghadapi tantangan hidup diskala euforianya. Pandangan baru akan selalu tercipta di kehidupan manusia. Berakal saja tak cukup tuk berdebat dengan hokum alam. Semesta hanya ingin menjadi bagian dari kenangan hidupku disaat ini.

Tentu, pasti ada saat dimana dimensi penghakiman dari masyarakat itu muncul dari berbagai sisi. Berkata sesuati kata hati mereka, beranggapan yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi anggapan yang benar. Kualitas yang hidup dalam koalisi antar mereka menumbuhkembangkan tanggapan tekanan pembulian kepadaku.

“Hei kau!! Gadis kecil aneh, siapa yang melahirkanmu? Ayah atau Ibumu!?HAHAHA!!..”, “Atau mungkin yang melahirkanmu satu diantara 2 wanita aneh yang hidup bersamamu? HAHA..!!” , “Dasar anak pungut, keluarga aneh!!”.

Begitulah kira-kira gambaran cercaan mereka kepadaku. Lemparan sampah serta lumut yang mereka arahkan kepadaku terkadang membuat lututku bergetar hebat. Bukan karena tak mampu menahan rasa namun, ini karena aku telah memasuki fase dimana aku ingin tinggal disebuah dunia tanpa lorong kegelapan. Aku hanya ingin cahaya penerangmu Oh Tuhan jawab pinta ini “hati kecilku kerap memohon keajaiban kecil akan datang”.

Kembali pada awal kisah, ibu yang melarangku untuk memberitahukan orang lain nama ini tetap menjadi sebuah landasan kuat yang melekat pada raga diri. Nama sesingkat kata yang mampu menggoyahkan jiwa dan alam bahwa aku yang salah karena berbaur bersama mereka (masyarakat umum).

Terkadang aku menyertai doa-doa untuk memahami orang-orang seperti mereka yang beranggapan normal. Apakah mereka layak dikatan sebagai manusia normal karena memerankan peran berhidupan normal sebagaimanamestinya? Aku hanya ingin berusaha membuka pola pikir masyarakat bahwa tak selamanya yang baik itu baik dan yang buruk itu buruk.

Bertanya pada diri sendiri terkadang membuatku cemas pada mereka, ayah dan ibu yang sebaliknya selalu mencemaskanku. Bagiku melihat mereka merasa berkehidupan normal dengan perbedaan yang terletak pada orientasi ketertarikan yang berbeda dari lainnya. Tetap membuat hati ini merasa damai. Sekaligus tegas bahwa pembulian bukan penjurusanku kearah yang lebih  buruk.

Lantas jika memang masih tetap seperti ini kehidupan normal manusia yang dijunjung tinggi, dan yang buruk rupa tetap akan menjalani hidup yang buruk. Maka apa artinya jika tetap kuperkenankan tuk mengucapkan kata sajak sebait nama yang kumiliki ini, dan pada akhirnya alam hanya akan mendambakan kisah yang baik tuk dikenang bersama mereka yang bernyawa.

Waktu kini berhasil melampaui keterbatasan yang kumiliki, kehidupan akan silih berganti dari seluk beluk alam yang berat dan kini menuju ketentraman sebagaimana yang kudambakan. Benar kata ayah dan ibuku, semua ini akan kulalui, semuanya dapat kuhadapi, dan kini aku percaya pada alam yang tidak akan menunjukkan keegoisannya saat berpihak pada kisah yang sedang bercerita ini.

Semua akan ada masanya, semua akan ada waktunya. Semuanya akan dikembalikan pada dirimu, aku dan mereka dengan cara apa yang akan kita tempu dalam menghadapinya. Aku bukanlah insan yang berbahagia disisa hidupku, disaat umurku beranjak dewasa lebih tepatnya saat 27 tahun. Ayah dan ibuku tewas dalam kecelakaan pesawat saat menuju Denpasar karena urusan pekerjaan.

Ternyata alam semesta kali ini tidak ingin berpihak kepadaku, lantas kenangan yang kusebut indah disaat yang tentram bersama kedua orang tuaku kini menjadi sisa kisah diakhir cerita.

Hari demi hari, sebuah kenyataan kehilangan sosok yang melindungiku sejak kecil memang menampar ragaku, hal yang memang sudah seharusnya sedari dulu aku sadari dan kulindungi. Hal yang membuatku semakin frustasi akan keadaan ini, hal yang seharusnya tidak keperdulikan aku utamakan, aku menyesalinya. Aku berusaha meyakinkan diri untuk kulewati dengan tabah.

Dulu semakin kulihat kenyataan semakin aku takut menghadapinya, namun kini semakin kulihat kenyataan semakin tenang aku menghadapinya, hidupku tidak akan palsu lagi, aku melihat keterbukaan dalam diriku aku mulai menerima kenyataan tersebut secara perlahan satu persatu, aku mulai merendahkan sifat egoisku pada ketidaksukaan yang kubenci, aku mulai mencintai rasa sakit yang pernah membunuh sebagian hidupku.

Akhirnya lagi dan lagi aku dapat berkata bahwa alam kini berpihak padaku, alam menemani ragaku saat aku mulai terluka, Ia terlihat adil disetiap kisah rasa sakit hingga rasa senangku. Tak dapat kuperjelasan dengan ungkapan kata, ungkapan kisah yang mulai dari mana asalnya.

Aku hanyalah manusia yang bercerita pada kisah lara ras kemanusiaan serta dekapan alam yang menenangkan. Pintasan kenangan yang ku ukir dibumi manusia memberikan rasa luka, sedih dahaga dan kebahagiaan yang tidak dapat kuprediksikan kehadirannya. Semuanya tercampur menjadi satu.

Dan lagi-lagi aku dapat berkata,,, kini kehadiran Alam diciptakan tuk mengenang kisah Sajak sebait nama sebagai kisah diakhir cerita.

*Mahasiswi Prodi Hubungan Internasional Universitas Tanjungpura Pontianak
Posting Komentar

Posting Komentar