Pondok Pesantren Asasul Mubtadiin, Tanjung Saleh, Kubu Raya. Foto: Imam Maksum |
Kubu Raya, Jurnalistiwa Online – Sore itu matahari perlahan tenggelam di ufuk barat. Bias cahaya jingga menempel di dinding-dinding lokal Pesantren Asasul Mubtadiin, Dusun Parit Pangeran. Bangunan dua lantai itu didominasi warna hijau dengan lis krim pada tiangnya.
Puluhan santri mengenakan sarung khas pondok pesantren, lengkap dengan kopiah. Berlarian dengan wajah basah, bekas air wudhu. Kami baru saja tiba di depan gapura Pondok Pesantren Asasul Mubtadiin, Dusun Parit Pangeran. Setelah melakukan perjalan penat selama kurang lebih 4 jam dari Kota Pontianak.
Ponpes Asasul Mubtadiin yang terletak di RT 9 Dusun Parit Pangeran Desa Tanjung Saleh inilah yang akan menjadi tempat menetap peserta KKL kelompok 2 selama 35 hari. Di sini (Desa parit Pangeran) akan menjadi tempat mahasiswa belajar membaur pada masyarakat dalam program Kuliah Kerja Lapangan (KKL).
Langit semakin gelap siiring kian tenggelamnya sang surya. Lantunan sholawat terdengar mendayu-dayu dari kejauhan, dari masjid-masjid nun sebelah sana. Tak lama berselang, terdengar sholawat dari surau pondok pesantren. Lantunannya tak kalah merdu dengan yang di sebelah sana.
Pondok Pesantren Asasul Mubtadiin merupakan salah satu pesantren tertua di Desa Tanjung Saleh. Pendiri pesantren ini yaitu Abuya Asjar Thalib. Beliau mendirikan pondok pesantren pada tahun 1991.
Sore itu (5/8) di selasar surau, sebelum azan magrib berkumandang. Matsum, anak sulung Abuya Asjar bercerita tentang awal mula berdirinya ponpes Asasul Mubtadiin. Matsum mengatakan bahwa keprihatinan Abuya terhadap situasi masyarakat sekitar pada saat itu adalah dalih utama Abuya mendirikan pesantren. “Masyarakat ketika itu tidak kenal halal dan haram, sehingga kerjaannya mencuri dan sebagainya,” tutur Matsum, sekaligus pengasuh di ponpes yang kini berusia 28 tahun itu.
Sebelum tinggal dan menetap di Dusun Parit Pangeran, Abuya pernah sekolah di Jawa. Ketika selesai, beliau memilih untuk kembali ke tanah kelahirannya. “Alhamdulillah dengan datangnya beliau dari jawa ke Tanjung Saleh, beliau mengajar ngaji dan mendirikan sekolah,” ucap Matsum bercerita.
Ketika mendirikan pondok pesantren, usaha yang dilakukan Abuya penuh lika-liku. Abuya mendapat banyak cobaan dan musibah ketika masa-masa mendirikan sekolah. Salah satu kenyataan pahit yang ia rasakan adalah ketika dua anak beliau meninggal dalam satu minggu. “Karena musibah itu, beliau lupa, jadi madrasah ini diteruskanlah oleh masyarakat,” tutur Matsum mengulang kenangan pahit keluarganya.
Sampai sekarang ini, seperti yang disampaikan Matsum, pembangunan ponpes telah dilakukan empat kali. “Pertama atap daun, tahun 1991. Kedua lantai dan dindingnya masih papan. Ketiga, diroboh dan diganti atapnya dengan seng. 2017 dirubah total, dibuka kelas menjadi 8×8 meter dengan dua lantai,” jelas Matsum.
Kini Ponpes Asasul Mubtadiin memiliki 6 lokal untuk proses belajar mengajar. Satu lokal papan sebagai asrama. Kemudian surau yang masih berlantai papan sebagai tempat ibadah dan belajar agama, khususnya belajar kitab dan bahasa Arab. Matsum menyebutkan bahwa pembangunan enam lokal baru, tidak luput dari bantuan walisantri dan masyarakat yang ada di Dusun Parit Pangeran. “Dan itu semuanya adalah swadaya masyarakat,”kata Matsum menambahkan.
Di tengah lajunya arus teknologi, peran pesantren di masa sekarang sangat diperlukan. Matsum menilai, ada indikasi bahwa dekadensi moral yang mulai rusak. “Karena anak-anak, sekarang banyak yang terpengaruh oleh medsos, hp, dan lainnya. Peran penting pesantren ini untuk mendidik anak menjadi manusia yang berakhlak,”jelasnya.
Sejauh perjalanan panjang Ponpes Asasul Mubtadiin mencetak santri, tidak ada kendala berarti yang dihadapi. Matsum mengutarakan, semua orang tua santri mendukung, baik segi materil, tenaga secara keseluruhan. “Bahkan orang tua ketika anaknya diliburkan agak lama, mereka kan melapor ke sini jangan suruh libur lama-lama,” kata Matsum.
Oleh sebab itulah, maka ia selaku pengasuh sekaligus ustad di ponpes ini berinisiatif mengambil kebijakan libur satu tahun satu kali bagi santri. “Yaitu liburnya pada bulan puasa,”tuturnya.
Waktu terus berlalu seiring makin berkembangnya Ponpes Asasul Mubtadiin. Karena semakin menyebarnya informasi, santri yang mondok di ponpes ini berdatangan dari luar desa mulai 2008. “Sebelumnya hanya produk lokal (warga sekitar) saja yang mondok. Ketika tahun 2008 saat mulai dibangaun ponpes, baru lah berdatangan dari daerah Peniram bahkan ada dari derah Pinyuh dan Pangkal Pinang,” tambah Matsum.
Matsum, lulusan STAI Salahudin Al-Ayubi mengatakan bahwa mayoritas santrinya berasal dari suku madura. Meskipun lingkungan di Dusun Parit Pangeran mayoritas bersuku madura, kata Matsum, Ponpes Asasul Mubtadiin membuka ruang bagi suku apapun untuk mondok. “Tidak ada batas suku di sini, siapapun orangnya, apapun sukunya, kami tetap memberi peluang bagi calon santri yang ingin mondok di sini,”ucap Matsum.
Terkait masalah biaya, pihak ponpes tidak memungut biaya pendaftaran. Hanya saja, kata Matsum, setiap bulan itu dikenakan biaya sebesar dua ratus ribu rupiah bagi setiap santri.
Meski jumlah santri tahun 2018 menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya, tapi banyak juga santri dari lingkungan Dusun Parit Pangeran yang belajar di Asasul Mubtadiin. Hal ini mengingat bahwa, pengasuh sekaligus pendiri pondok, Abuya, yang merupakan tokoh pemuka agama yang memiliki wawasan keagamaan tinggi.
Sementara langit kian gelap. Burung-burung terbang menuju sarangnya. Aktivitas petang itu menjadi khusuk. Beberapa warga berdatangan ke mushola. Begitu juga dengan santri, mereka memenuhi surau berlantai papan itu. Tak lama, azan maghrib berkumandang. Lantaunan lafaz penuh khusuk, damai dan alam seakan-akan tenang.
Matsum berharap, kedepan Ponpes Asasul Mubtadiin bisa melahirkan jebolan santri yang berakhlak mulia. “Saya tidak pengen santri yang pintar, tapi pengen santri yang berakhlak dan bisa menerapkan ilmunya,” harap Matsum.
Jurnalis Warga
Mahasiswa KPI IAIN Pontianak
Imam Maksum
Posting Komentar