Ilustrasi/Net |
Oleh: Isniyatul Khumayah
Sebuah cerpen, untuk Ayah.
Yang sedang berbahagia, di
surga.
Sekarang Maret. Bulan ketiga di tahun yang
membuatku bertemu usia ke-21. Kehidupan yang cukup panjang. Warna-warni dan
penuh liku-liku. Kukira aku beruntung. Setidaknya aku hidup di zaman tanpa
pertumpahan darah. Bebas berpendapat dan berserikat. Terimakasih Tuhan, aku
beruntung. Kuharap kamu juga begitu.
Mataku mulai menerawang. Pandanganku terhenti
pada sebuah jendela, tepat di depan mataku. Butiran air sesak memenuhi
permukaan kaca. Ya, hujan belum lama pergi. Nyaris aku terbawa derasnya
kenangan mengalir. Kucoba melupakan semuanya. Kupejamkan mata, dan sayang,
hari-hari penuh air mata itu justru bergelayut kuat dalam memoriku. Ya, tepat
di bulan Maret, tahun lalu.
“Nisaaaaa...!!”, aku kaget. Tubuh jangkung
dengan perawakan besar itu menyergap. Memelukku. “Kamu ngalamunin apa? Aku
sedang sedih”, tidak lama dari itu, air mata deras menghujam mengalahkan hujan
yang telah pamit. Aku diam. Dia tetap menangis. Aku heran, tapi sudah bisa aku
tebak. Fani pasti ingin bercerita perihal kekasih yang amat dia puja.
Sedikit tentang Fani, dia adalah teman masa
kecilku. Kita bertemu di sebuah sekolah dasar negeri, dua belas tahun yang
lalu. Dia baik, cantik, selalu ceria dan pintar. Fani sering sekali main ke
rumahku. Sampai akhirnya dia terbiasa dan menganggap layaknya rumah sendiri.
Aku suka gayanya yang asyik. Tapi, dia selalu lupa satu hal. Aku tidak suka
siapa pun masuk ke dalam kamarku sesuka hatinya. Bagiku, kamarku adalah privasi
ku.
Namun, melihat dia menangis, akhirnya
kuurungkan niatku kesal padanya. Padahal, ingin sekali aku mengatakan padanya,
“Ini kamarku. Kamu tidak seharusnya masuk seenaknya, Fan. Aku tidak suka”, tapi
semua itu tertahan di tenggorokanku. Tidak aku ucapkan. Tanganku refleks
mengelus rambutnya. “Kamu ada masalah apa Fan?”, refleks aku menanyakan hal itu
pada Fani. Dia justru menangis lebih keras dan memelukku lebih erat. Aku diam.
Dia tetap menangis, dalam pelukanku.
Terserah seperti apa penilaianmu terhadap
Fani. Juga terhadapku yang menyatakan Fani gadis yang selalu ceria. Di atas,
aku memang mengatakan dia selalu ceria. Tapi, bukan berarti dia tidak boleh
menangis. Wajar, hal buruk sedang menimpa dirinya. Bukankah menangis adalah
tindakan paling efisien bagi kaum hawa?. Ya, aku jawab sendiri. Kuharap kalian
juga setuju. Tapi jika tidak, itu hak kalian dan aku tidak akan memaksanya.
“Nisa, Diman jahat”, tangisnya semakin
menjadi. Aku diam. “Aku putus, Nis”. Aku tetap diam. Pipinya sudah penuh dengan
air mata. Aku tak tahan melihatnya. Tapi, bagaimanapun juga, Diman memang
brengsek. Aku sudah berulangkali mengingatkan Fani. Sayang, dia tidak pernah
mendengarkanku. Tapi, kalau sudah begini, mau gimana lagi.
Diman adalah pacar Fani, sejak dua tahun yang
lalu. Wajar jika Fani merasa kehilangan. Diman bukan laki-laki baik. Perlu kamu
ketahui, dia menyimpan sejuta wanita. Di dunia maya, juga nyata. Diman memang
tampan. Nyaris seluruh wanita tunduk pada ketampanannya. Tapi, aku sudah
seringkali mengingatkan Fani, meski tanpa dia dengar.
“Aku harus gimana, Nis. Rasanya aku kehilangan
separuh jiwaku. Aku tidak kuat menjalani hidup ini tanpa Diman”, dia
mengatakannya dengan tanpa berhenti menangis. “Hanya karena laki-laki buaya
macam Diman, kamu jadi seburuk ini? Ah, aku kecewa”. Ingin sekali kukatakan
padanya. Namun tidak, ini bukan waktu yang sesuai. Aku hanya diam, termenung.
Waktu itu, malam sudah beranjak. Jam tiga
pagi, aku sampai di pelataran rumahku. Suasananya ramai. Sama sekali bukan
suasana jam tiga pagi yang wajar. Bendera putih berkibar di samping rumah. Kamu
ingin tahu perasaanku saat itu? Lebih sakit 360 derajat dari apa yang dirasakan
Fani, sekarang.
Rasanya, aku tidak ingin lagi melihat matahari
terbit. Tidak ingin meihat burung-burung berkicau ria. Tidak ingin berpelukan
lagi dengan mentari. Tidak ingin kuhabiskan waktu dengan butiran air hujan di
pelataran. Pokoknya tidak. Aku hanya ingin selalu bergandengan tangan denganmu,
Ayah. Aku sangat kacau waktu itu. Kuharap kau mengerti.
Kuberanikan diri turun dari mobil itu. Mobil
putih dengan dua laki-laki yang menjemputku. Ya, menjemput aku untuk menghadapi
kesedihan bertubi-tubi. Dimulai dari satu tahun yang lalu. Puluhan pasang mata
menatapku, nanar. Terimakasih, batinku dalam hati. Mungkin mereka iba. Mungkin
kamu juga akan begitu, jika kau di sana satu tahun yang lalu.
Dari jauh, seorang pahlwan pribadiku telah
terbujur kaku. Dia yang selalu menggendongku saat aku tidak bisa jalan. Dia
yang selalu mencari butiran rupiah untuk membuatku kenyang. Dia yang selalu ada
saat aku duka. Dia yang bahkan selalu hadir dalam mimpi dan juga doa. Dia yang
ingin selalu membuatku tersenyum bahagia. Terimakasih banyak Ayah. Kurasakan
mataku panas. Tanpa api, juga matahari. Ini luka. Luka yang amat dalam. Tapi,
aku pendam.
Kucium keningmu, untuk
terakhir kalinya. Sekuat tenaga aku menahan tumpahan air mata. Kusunggingkan
senyum. Kudekati telingamu. Yah, terimakasih, maafkan anakmu, aku
menyayangimu. Satu detik, dua detik, dan tanpa jawaban. Sekali lagi kubisikan
“Aku menyayangimu”, suaraku parau. Tanpa terdengar siapapun. Kecuali aku, dan
Tuhan.
Lantunan ayat-ayat suci
tanpa hanti menemani Ayah. Aku juga sama sekali tidak ingin beranjak darinya.
Kubaca ayat-ayat itu dengan pikiran bubar jalan. Rasanya, aku tidak rela Ayah
harus tinggal sendiri di bawah sana. Tanpa aku, Ibu dan siapapun. Dengan
sehelai kain yang pasti membuatnya dingin. Kemudian aku ingat, Ayah mudah masuk
angin. Beberapa kali aku memijat dan meninggalkan bekas garis-garis di
punggungnya. Ah, aku benar-benar jatuh. Aku benar-benar kacau. Kau tahu itu
kan?.
Bagiku, itu adalah hari
dimana aku sangat merasa kacau. Merasa tidak berdaya. Tidak bisa berpikir.
Tidak mampu berkata, juga tidak mampu membuatmu menjawab “Ayah juga sayang
kamu”. Tapi aku tahu. Ayah pasti menjawabnya. Hanya karena aku yang amat hina,
tidak dapat mendengarnya. Aku terduduk lemas disamping pahlawanku yang lain.
Aku diam. Kemudian aku sholat. Ayah di depanku, namun tidak lagi untuk
memimpin. Aku sholat untukmu, Ayahku.
Kamu perlu tahu, kehilangan
orang yang selalu menjagamu sejak kamu tidak mampu berbuat apa-apa, adalah hal
tersulit. Kamu harus tahu perasaanku saat itu. Jauh dari kata tidak apa-apa.
Jauh dari perasaan biasa saja. Jauh, sangat jauh Ayah meninggalkanku. Sangat
dalam sakit yang aku rasakan waktu itu. Sungguh, bagai peluru menembus dadaku.
Lebih dari sakit yang kau rasakan, Fani.
"Nisa, aku ingin pergi
selamanya. Aku tidak mampu hidup tanpa Dimaaaaaan. Diman, aku rindu”, aku
tersentak, keluar dari lamunanku. “Jangan Nis, hanya karena Diman, itu tidak
pantas”, jawabku singkat. Tapi, Fani membalas dengan nada tinggi dan
membuatku tersentak, “Kamu tidak pernah merasakan kehilangan sepertiku,
Nis!!!”, katanya. Mataku membulat, “Jangan sekali-kali kamu berbicara perihal
kehilangan denganku, Fan. Aku telah khatam merasakannya, satu tahun yang
lalu, dan tepat di bulan yang sama, Maret. Kau ingin tahu rasanya?”, kutanya
dia, meski aku tidak membutuhkan jawabannya. Seketika, air mataku mengalir.
Fani menyeka air mataku, berpelukan.
Biografi
Penulis
Isniyatul
Khumayah (Maya) tinggal di Jl. Raya Sokka Petanahan Kebumen, Grogol Penatus
Rt.02/Rw.02. Kuliah di IAINU Kebumen. Facebook :
Maya. Instagram : maya_khumayah
1 komentar