Ilustrasi/Net |
Oleh : Icmi Risalati
Aku mengayunkan kedua kakiku dan
memejamkan kedua mataku. Angin berhembus perlahan sehingga terasa lembut
menyentuh kulit. Aku membuka kedua mataku perlahan dan menengadah, kulihat
bintang berkelap-kelip yang bertaburan di langit malam.
“Miti! Ayo masuk! Ini sudah malam.”
Seru seseorang yang kukenal. Suaranya terdengar begitu rapuh dan sedikit
bergetar tetapi masih terdengar jelas.
“Iya nek.” Jawabku sambil turun
dari bangku panjang yang terbuat dari bambu dan berjalan menuju rumah yang
terlihat begitu sederhana. Padahal aku baru kali ini merasakan suasana
setenang dan sesejuk ini, udah disuruh masuk, baru juga jam 9. Gerutuku
dalam hati.
Aku memasuki rumah dan duduk di
kursi yang terbuat dari kayu jati. Aku masih tidak percaya aku bisa ada disini,
Dirumah Nenek yang begitu jauh dari Kota yang kutinggali. Aku dirumah nenek
untuk beberapa minggu. Mengisi liburan sekolahku setelah kelulusan.
Aku menolak saat Mama dan Papa
mengajakku berlibur ke luar Negeri. Aku lebih memilih berlibur di Desa dengan
semua suasana yang ada disini, semua hal di Desa ini membuatku nyaman dan
senang.
Pantas saja nenek tidak mau diajak
tinggal di Kota dan lebih memilih di Desa ini. Suasana disini benar-benar indah
dan menenangkan. Ucapku dalam hati sambil tersenyum
kecil.
“Kenapa senyum-senyum sendiri?”
Tanya nenek cukup mengagetkanku. Nenek membawa secangkir susu untukku.
“Ini diminum dulu, setelah itu
tidur ya Miti, supaya besok bisa bangun lebih pagi.” Ucap nenek kembali.
Aku mengangguk. Harus ya aku
minum susu sebelum tidur, aku kan bukan anak SD lagi. Tapi ya sudahlah.
Gerutuku dalam hati. Nenek mengelus rambut panjangku perlahan. Aku hampir
tersedak.
“Cucu nenek tidak terasa sudah
sebesar ini.” Ucap nenek sambil tersenyum. Kerutan diwajahnya terlihat begitu
banyak dari dekat. Entah kenapa aku merasa ingin tertawa saat nenek berbicara
seperti itu. Aku merasa wajar ketika nenek bersikap seperti itu. Aku adalah
cucu nenek satunya. Kedatanganku benar-benar membuat nenek senang. Setidaknya
aku bisa menemani kesendirian nenek untuk beberapa minggu ini.
“Sudah nek, Miti tidur dulu ya.”
Ucapku beranjak dari kursi dan meninggalkan nenek. Aku meletakan gelas di
wastafel dan mencuci kedua tanganku.
“Miti! Jangan lupa mencuci kaki
sebelum tidur!” Seru nenek dari ruang tamu. Aku tersenyum dan merasa geli. Beberapa
minggu ini sepertinya aku kembali menjadi anak-anak. Ucapku dalam hati.
***
Sinar matahari masuk melewati celah-celah jendela kamarku yang
begitu rapi. Aku terbangun dari tidurku. Aku terbelalak saat tidak percaya
melihat waktu menunjukkan pukul 07.00 pagi.
Aku segera berlari keluar kamar dan
mencari nenek. Tapi aku tidak mendapati nenek di rumah. Aku terduduk dilantai
dan mengucek kedua mataku. Rumah sudah bersih dan jendela-jendela sudah terbuka
lebar. Aku berdiri kembali menuju kamar dan mengambil handuk untuk mandi. Saat
melewati dapur aku sudah melihat sarapan yang sudah disiapkan untukku. Aku
tersenyum dan memakan sarapanku terlebih dahulu sebelum mandi.
“Miti! Miti! Sudah bangun belum?”
Seru nenek dari belakang rumah. Aku segera berlari kebelakang rumah dan
menghampiri nenek.
“Iya udah nek.” Ucapku sambil
membantu nenek yang membawa sekeranjang buah-buahan.
“Ini semua nenek yang ambil?”
Tanyaku pada nenek.
“Iya. Sebenarnya lebih banyak
buah-buahan lain. Tapi nenek tidak bisa membawanya sendiri.” Ujar nenek.
“Nenek sih bukannya bangunin Miti.
Miti juga mau kali ambil buah-buahan di kebun.” Gerutuku sambil mencuci
buah-buahan yang nenek bawa.
“Alah. Dibangunin berkali-kali
susah. Tidurnya udah kaya kebo ajah.” Ledek nenek sambil mencubit lenganku.
Aku tersipu malu. Perasaan aku
ga ngerasa kalau aku ada dibangunin sama nenek deh. Pikirku.
***
Tidak terasa satu minggu telah berlalu. Aku
mengisi hari-hari ku dengan bermacam-macam hal yang belum pernah kulakukan
sebelumnya. Banyak berbagai pengalaman yang kudapat di desa ini.
“Nek, Miti membawa anak kucing!”
Teriakku pada nenek sambil berlari kecil menuju teras rumah nenek.
“Waah lucunya. Miti membawanya
darimana? Bagaimana kalau induknya mencarinya?” Tanya nenek padaku keheranan.
“Gak mungkin dong nek dicari sama
induknya. Soalnya pas ngambilnya, kucing ini cuman sendirian kaya kebingungan.”
Ucapku sambil tersenyum dan mengelus-elus kepala anak kucing yang baru
kutemukan.
“Yasudah kalau begitu Miti pelihara
saja. Beri nama juga kucingnya.” Ujar nenek.
Aku mengangguk dan membawa anak kucing bewarna
hitam putih yang baru kutemui kedalam kamar. Aku merogoh kedalam laci meja rias
berharap menemukan apa yang sedang kucari.
“Ah ketemu!” Ujarku girang. Aku
menemukan gelang yang terbuat dari rantai dan terdapat beberapa lonceng kecil
pada rantainya. Aku memakaikan gelang itu pada anak kucing yang baru kutemukan.
Seketika anak kucing itu menjilat-jilat tanganku dan berguling-guling di
hadapanpun, membuatku semakin gemas untuk mencubit-cubitnya. Oh iya! Nama!
Aku belum memberinya nama. Apa ya kira-kira? Pikirku sambil menopang dagu.
“Miki!” Teriakku sambil menunjuk anak kucing
itu. Anak kucing itu terlihat sedikit terkejut saat aku tiba-tiba berteriak dan
menunjuk ke arahnya. Iya namanya Miki saja, jadi gak beda jauh deh sama
namaku. Gumanku sambil mengelus-elus leher Miki.
Aku membawa Miki ke kebun
dan meletakkannya didalam keranjang sayuran. Nenek tersenyum geli melihatku
ketika aku sesekali mencoba berbicara dengan Miki. Sudah 3 hari semenjak aku
menemukan Miki di tepi sungai didekat rumah nenek.
“Miki ayo turun dari keranjang. Aku harus
memetik beberapa sayur.” Ucapku pada Miki dan meletakkan keranjang sayuran di
atas tanah yang terlihat begitu subur.
Aku mulai memilah-milah sayur yang akan
kupetik. Hari ini aku memetik sayur sendirian di kebun. Karena nenek akan pergi
ke pasar untuk membeli beberapa ikan segar dan beberapa bumbu dapur lainnya,
sehingga nenek hanya mengantarku saja ke kebun. Aku mulai memetik beberapa
sayur yang terlihat segar dan memasukannya kedalam keranjang.
Baru 15 menit memetik sayur di kebun aku sudah
merasa gerah, padahal cuaca tidak terlalu panas. Keringat mengucur dari dahi
ku. Aku merogoh ikat rambut yang kuletakkan di dalam saku celana pendekku dan
mengikat rambut ku asal. Aku menyeka keringat di dahiku dengan punggung
tanganku.
Aku tersenyum saat melihat Miki tertidur lelap
di bawah pohon pisang. Aku mendekatinya dan mengelus kepalanya dengan lembut.
Sesekali aku menarik-narik telinganya.
“Astaga digimanainpun gak bangun-bangun.”
Ucapku perlahan sambil terus mengelus-elus kepala Miki.
Aku mendengar suara kucing tak jauh dari kebun
nenek. Suaranya terdengar begitu keras seperti memanggil-manggil. Miki
terbangun dari tidurnya dan berlari ke arah suara kucing itu. Aku tersentak
kaget dan mencoba berlari mengikuti Miki, tetapi aku tersandung dan terjatuh.
Aku meringis kesakitan dan mencoba duduk. Kulihat darah segar mengalir dari
lututku.
“Ah yang benar saja!” Gerutuku dengan kesal.
Aku mencoba berdiri perlahan dan mengambil keranjang sayuranku sambil berjalan
sedikit terpincang-pincang.
“Miki! Miki! Pus pus!” Panggilku dengan keras
tapi aku tidak mendapati Miki dimanapun. Aku memutuskan untuk pulang saja
kerumah nenek.
Aku melihat seorang anak kecil berusia 10
tahunan berkuncir dua dan mengenakan gaun simple bewarna merah muda duduk di teras
depan rumah nenek. Dia memegang Miki dan mengelus-elus kepala Miki. Aku merasa
heran dan mendekatinya dengan sedikit terpincang-pincang.
“Adik siapa ya?” Tanyaku pada anak kecil itu
keheranan. Aku duduk perlahan disebelah anak kecil itu dan melihat kucing besar
yang memiliki warna bulu yang sama seperti Miki.
“Karina kak.” Jawabnya sambil tersenyum
padaku.
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal
mencoba mencerna yang sedang terjadi. Kok bisa Miki sama dia? Dan kucing
besar itu? Apa suara kucing besar ini yang tadi aku denger kali ya? Pikirku
dengan keras.
“Kakak yang selama ini jagain Leo ya?” Tanya
anak kecil mengejutkanku.
“Hah? Maksudnya?” Tanyaku kembali keheranan.
“Soalnya pas Lili udah nemuin Leo. Leo malah
lari kerumah ini dan guling-guling di teras rumah ini. Jadi Karin kesini juga
deh. Hehe.” Ujar anak kecil itu terlihat begitu polos.
Lili? Leo? Apaan sih maksudnya. Pikirku. Oh ya tadi nama anak ini siapa ya. Pikirku
kembali
“Oh ya tadi nama kamu siapa?” Tanyaku kembali.
“Karina kak. Karina Teressa. Kakak panggil
karin aja juga gapapa.” Jawabnya sambil terus mengelus-elus Miki.
“Nama kakak siapa?” Tanyanya kembali.
“Ah Miti. Miti Diandra. Panggil saja Miti atau
apapun yang membuat kamu nyaman.” Jawabku.
“Oh kak Miti ya.” Ujarnya sambil tersenyum.
“Jadi maksud kamu Lili Loe dan blablabla itu
apa?” Tanyaku Pada Karin.
“Ini nih namanya Leo.” Ujar Karin sambil
menepuk-nepuk kepala Miki. Karin lagi liburan kesini kak. Karin bawa
kucing-kucing ini pake kandang kucing. Tapi saat di mobil kandangnya gak
ditutup. Makanya pas mobil berhenti saat Bunda mau ambil beberapa foto di deket
sungai sepertinya Leo keluar dari mobil, sementara itu Lili lagi tidur. Gak ada
yang sadar kalau Leo keluar dari mobil. Lanjutnya.
“Setelah itu?” Tanyaku kembali agar Karin
melanjutkan ceritanya.
“Kami sadar Leo gak ada pas udah sampai di
rumah nenek. Kami gak tau Leo ketinggalan dimana. Bunda mengira Leo tertinggal
di rumah. Tapi saat bunda menelpon ke rumah, Bi Tini bilang Leo gak ada di
rumah. Tapi karna hari itu udah terlanjur sore. Bunda memintaku mencari Leo
keesokan harinya. Karin nangis semaleman karna Leo hilang. Lanjutnya kembali.
Aku mengangguk-angguk mulai mengerti. Aku
kembali menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Seketika aku lupa luka di lutut
kakiku, sehingga darah yang tadinya mengucur sudah mengering.
“Rumah kamu jauh gak dari sini? Tadi kesini
nya jalan kaki? Sama bawa-bawa induk kucing ini ya? Jadi induk kucing ini
namanya Lili gitu?” Tanyaku berturut-turut.
Karin menyengir dan melepaskan Miki dari
pelukannya.
“Enggak kok kak, rumah nenek Karin ga terlalu
jauh dari sini. Dan iya kalau Karin kesini sama Lili. Lili juga suka
nyari-nyari Leo juga semenjak Leo hilang. Pas Karin inget saat diperjalanan
kemarin sempat berhenti di tepi sungai. Karin jadi ngerasa kalau Leo hilang
disitu. Jadi Karin ke sungai itu buat cari Leo sambil bawa Lili. Apalagi pas di
jalanan Karin nanya ke orang ada atau enggak liat anak kucing hitam putih,
mereka jawab ada yang ngebawanya ke arah rumah ini. Jadi Karin kesini deh
nyariin Leo dan ketemu deh.” Ucap Lili panjang lebar.
Aku hanya mengangguk mendengarnya. Disisi lain
aku merasa bimbang. Apakah ini artinya Miki akan dibawa pulang oleh Karin?
Pikirku.
“Oh jadi gitu. Trus jadi sekarang kamu mau
bawa Miki? Eh ma.. maksudnya Leo?” Tanyaku tergagap.
Karin mengangguk dan mengambil Miki kedalam
pelukannya. Aku hanya bisa melongo. Karin berpamitan padaku, dan memberi
isyarat pada Lili untuk mengikutinya pulang. Aku hanya menunduk dan merasa
sedikit sedih.
“Kakak sedih ya Leo dibawa pulang?” Tanya
Karin tiba-tiba membuatku terkejut, Dia sudah ada didepanku lagi.
“Ah enggak. Lagian Leo kan emang kucing kamu.”
Ujarku sambil memalingkan wajahku.
“Makasih ya kak sebelumnya udah mau jagain
Leo, apalagi kakak sampai ngasih Leo kalung.” Ucap Karin tulus. Kalau kakak
mau, kakak boleh kok sering-sering maen sama Leo. Kakak ke rumah Karin saja.
Karin di rumah aja kok gak kemana-mana. Rumah Nenek Karin di samping rumah
makan melati, dan di depan rumah nenek Karin banyak banget bunga. Nanti Karin
tunggu ya!” Lanjutnya. Aku mengangguk setuju dan tersenyum pada Karin. Ia
berlari kecil meninggalkanku dan melambaikan tangannya.
Aku masih melamun di teras rumah nenek. Aku
sendiri tidak sadar kenapa pikiranku tiba-tiba menjadi kosong, dan tatapanku
juga menjadi kosong.
***
“Miti!” Teriak nenek membuyarkan lamunanku.
Aku hanya menatap kearah nenek tanpa beranjak
dari tempat dudukku sedikitpun. Kulihat nenek berwajah khawatir dan sedang
membawa beberapa kantong belanjaan.
“Kaki Miti kenapa sampai berdarah begitu?”
Tanya nenek khawatir.
Aku tidak menjawab pertanyaan nenek. Aku baru
tersadar akan luka di kakiku. Ah aku baru sadar, jadi terasa kembali
pedihnya, darahnya juga sampai sudah kering begini.” Pikirku.
“Tunggu sebentar nenek ambilkan obat.” Ucap
nenek padaku.
Aku mengangguk dan meniup-niup luka
di kakiku. Kok rasanya pedih sekali, kenapa tadi kaya gak kerasa apa-apa pas
ngomong sama Karin. Gumanku. Nenek kembali dan membawa kain bersih dan
obat-obatan alami dari dedaunan.
“Sini nenek bersihin dulu lukanya.” Ujar
nenek.
Nenek membersihkan lukaku dengan kain bersih
yang sudah dibasahi dengan air. Aku sedikit meringis kesakitan. Nenek tersenyum
dan masih terus membersihkan lukaku. Setelah itu nenek menempelkan
beberapa obat dari dedaunan yang sudah di tumbuk pada lukaku. Terasa sangat
pedih. Aku menatap nenek dalam-dalam. Tak terasa butir bening jatuh dari ujung
mataku.
“Sesakit itu ya?” Tanya nenek khawatir. Nenek
membalut luka di kakiku dengan kain bersih kering. “Oh ya, Miki mana kok nenek
ga ada lihat?” Tanya nenek kembali.
Aku semakin tidak dapat menahan air mataku.
Aku menangis di depan nenek dan membuat nenek keheranan. Nenek terlihat sangat
khawatir. Aku memeluk nenek dan menceritakan apa yang sudah terjadi. Nenek
mengusap-usap punggungku mencoba menenangkanku.
“Ya sudah, lagian Miti kan masih bisa main
sama Miki. Lagian nenek kenal kok sama neneknya Karin. Besok kita kesana.” Ujar
nenek.
Aku melepaskan pelukan dari nenek dan
mengangguk. Aku terdiam sejenak dan menghapus air mataku. Arrgh, rasanya
memalukan sekali seperti ini. Gerutuku dalam hati.
Keesokan harinya aku dan nenek mengujungi
rumah yang ditempati Karin. Karin begitu senang dengan kedatanganku. Ia
menarikku ke kamarnya. Aku melihat Miki dan induknya ada di atas kasur Karin.
Aku tersenyum, merasa sangat lega. Aku memeluk Miki dan mengelus-elus
kepalanya. Karin menyengir melihat tingkahku.
Aku banyak mengabiskan waktu pagiku di rumah
Karin selama liburanku, Nenek tidak merasa keberatan sama sekali. Aku juga
sedikit lebih mengenal Karin karena sering menemuinya, ditambah lagi kami
tukaran kontak agar bisa terus komunikasi jika liburan kami di desa ini telah
usai.
***
Hari ini adalah hari kepulanganku. Waktu
liburanku di desa ini sudah habis. Aku menunggu mobil yang akan menjemputku di
depan teras rumah nenek. Karin juga menungguiku disini. Begitu juga Lili dan
Miki. Ah maksudnya Leo. Karin sengaja membawa mereka agar aku dapat melihatnya.
Tin Tin. Bunyi klakson mobil di depan rumah nenek menandakan kalau aku
sudah harus pergi. Aku memeluk nenek. Wajah nenek terlihat begitu sedih.
“Hati-hati Miti. Nanti kesini lagi.” Ucap
nenek perlahan sambil mengusap-usap punggungku.
“Pasti!” Ucapku tegas. Aku melepaskan pelukan
nenek perlahan
Setelah itu aku memeluk Karin. Tanpa kusangka
ternyata Karin memberiku sebuah gelang yang sangat indah, beberapa bintang
kecil dan bulan menggantung di gelang itu. Karin memasangkan gelang itu di
tangan ku. Aku berterima kasih padanya. Karin hanya menyengir. Kemudian aku
menepuk-nepuk kepala Lili dan Leo.
Aku merasa sedikit sedih saat harus pulang.
Aku merasa liburan ini terlalu pendek. Tapi aku tetap hatus pulang. Aku
berjalan meninggalkan Nenek dan Karin menuju mobil. Pokoknya liburan
selanjutnya aku harus kesini lagi. Harus! Pasti kesini! Janjiku didalam
hati.
Biografi Penulis
Saya adalah Icmi Risalati, anak
ke-1 dari dua bersaudara yang dilahirkan 19 tahun lalu, tepatnya pada tanggal
23 Februari 1999 di Sukabumi, Jawa Barat. Sejak usia 7 tahun saya diajak
bertransmigrasi ke Pulau Kalimantan oleh kedua orang tua saya. Dan sekarang
orangtua saya menetap di Kota Sambas. Saya adalah seorang alumni SMA Negeri 10
Singkawang. Setelah saya lulus dari SMA Negeri 10 Singkawang, saya melanjutkan
studi saya ke jenjang yang lebih tinggi di Pontianak. Saya diterima di salah
satu Perguruan Tinggi Negeri di Kota Pontianak, tepatnya di Poltekkes Kemenkes
Pontianak dan mengambil jurusan kebidanan.
Posting Komentar