Ilustrasi/Net |
Oleh:
Isniyatul Khumayah
Malam semakin
larut. Seperti biasa, dia selalu membawa dingin di setiap kedatangannya.
Mungkin mereka sudah berikrar untuk selalu bersama, pikirku. Kali ini dia
benar-benar menyelinap keseluruh ruangan yang aku tinggali. Menjelajahi tubuhku
yang semakin renta termakan usia. Ya, aku sudah tidak pantas dikategorikan muda
lagi.
Penampilanku
sekarang berubah drastis. Tubuhku mulai kusam, tidak rapi dan daya tahan
tubuhku sungguh berkurang. Ringkih. Bahkan, aku tidak dapat lagi memuaskan
Willy, lelaki tampan yang selalu menjelajahi tubuhku mulai jam sepuluh
malam. Saat dia harus mengerjakan setumpuk tugas sekolah. Willy masih siswa SMA
kelas dua. Dia selalu bebas meraih tanganku, menggenggamnya hingga menelusurinya
lebih jauh. Namun sayang, akhir-akhir ini aku hanya mampu bertahan lima belas
menit, dan itu membuat Willy kecewa padaku.
Tetapi, malam
ini aku membutuhkan Willy. Menemaniku dalam sekotak kamar kecil yang selalu dia
sebut kamar. Setidaknya, dia dapat memelukku. Menggenggam tanganku dan
mengurangi rasa dingin yang menggerayangi tubuhku. Nyatanya, semua hanya
menjadi sebuah keinginanku. Kejadian ini dimulai sejak dua bulan yang lalu.
Sejak Willy menemukan keindahan baru, selain aku.
Malam itu, di
bawah derasnya air hujan langkah berat Willy mulai terdengar. Malam pertama
dimana dia membawa keindahan baru itu. Kulihat Willy tampak bahagia sekali. Dia
benar-benar indah. Tidak seperti aku yang hanya bisa meringkuk kesepian
di pojok kamar. Sudah tua renta dan tidak dapat memuaskan Willy lagi. Sedangkan
dia, bisa menemani Willy dimanapun dan kapanpun.
Pikiranku
melayang pada dua tahun yang lalu. Saat hanya akulah satu-satunya barang
berharga Willy. Ayah Willy membeliku dari seorang om-om tua yang suka
mengajakku bermain. Setiap malam, bahkan hingga mentari pagi bersinar. Aku
bahagia karena bukan lagi pria tua yang dapat aku lihat dua jengkal dari
wajahku, melainkan Willy si remaja tampan.
Hubunganku
dengan Willy tidak berlangsung baik. Dia kini benar-benar meninggalkanku.
Bahkan, untuk sekedar menyentuhku saja dia seolah tak sudi. Aku semakin
kesepian dengan segala keterbatasanku. Namun, kini Willy berubah. Dia menjadi
remaja yang menghabiskan waktunya untuk hal tidak baik.
Sekitar dua
bulan yang lalu, kedua orangtuanya resmi meninggalkan Willy seorang diri di
rumah mewahnya. Mereka berdua mendapat pekerjaan di luar negeri untuk tiga
bulan ke depan. Anehnya, mereka tidak merasa khawatir pada Willy yang beranjak
dewasa. Usia yang sangat rentan untuk menerima hal-hal baru. Mereka hanya
menitipkan Willy pada seorang pembantu paruhbaya yang menjumpai Willy hanya
untuk menyiapkan makanan.
Willy tidak
terjerumus pergaulan bebas. Tidak merokok juga memakai narkoba. Dia anak
baik-baik. Tetapi itu dulu, sebelum kedua orang tuanya lebih mementingkan uang
daripada masa depannya.
“Tuan,
makanan sudah saya siapkan di meja makan”, Bi Inah menyampaikan pada Willy yang
hanya dibalas dengan anggukan. Tanpa berkomentar, Bi Inah keluar dari kamar
Willy dan melanjutkan pekerjaannya. Pagi itu semua berlangsng seperti biasa.
Hanya Willy yang tidak. “Bi, nanti malam kamu bisa pulang dan bermalam di
rumahmu”, sekejap Bi Inah bingung. “Tadi Mama telepon, dia takut kamu ditunggu
suamimu”, Willy melanjutkan. Dia berbohong. Bi Inah tidak curiga, karena memang
orangtua Willy amat baik padanya. Lagi pula, biasanya Bi Inah selalu pulang dan
bermalam di rumahnya. Pikirnya. “Baik Tuan, terimakasih”, jawab Bi Inah yang
kemudian di susul kepergian Willy ke sekolah.
Willy pulang dengan tiga teman laki-laki dan
satu perempuan. Sepertinya pertemuan ini telah disepakati. Kebetulan mereka
berkumpul di kamar. Jadi, aku bisa melihat dan mengamati secara jelas. Wanita
itu seumuran Willy, dan nampaknya mereka saling suka. Aku cemburu. Namun, siapa
aku? Keberadaanku saja sudah tergantikan. Hanya saja, Willy belum tega
membuangku ke suatu jurang yang dalam.
Kulihat
wanita itu berulangkali menyentuh tangan Willy. Ah, mengapa aku harus
melihatnya. Batinku. Tangan satunya merapikan rambutnya yang sebenarnya tidak
berantakan. Entah apa maksudnya. Seketika perhatian kita terpusat pada seekor
kucing. Ya, kucing yang datang menghampiriku dan melipir kencing di dekatku
lalu pergi tanpa merasa berdosa. Kulihat mereka justru terhibur oleh si kucing
biadab tadi. Dasar kucing sialan.
Seketika
hujan turun sangat deras. Ketiga teman lelaki Willy tetap nekat pulang meski
harus basah kuyup. Sedangkan Yasmin, si wanita yang tadi kuceritakan, dia
menunggu hujan reda. Dia perempuan. Teman-temannya tidak mau ambil resiko
membawanya dibawah derasnya hujan. Willy justru tampak senang dan sepertinya
Yasmin juga begitu.
“Kamu mau
minum apa Yas? Hujan-hujan gini. Biar aku buatkan. Kebetulan bibi lagi pulang”,
tanya Willy. “Kopi saja Will, terimakasih ya”, jawab Yasmin sambil tiduran
malas di ranjang Willy. Tidak lama Willy kembali bersama dua cangkir yang sudah
pasti itu kopi. Setelah itu mereka berdua asyik menonton video dari sebuah
benda yang selalu membuatku cemburu sejak dua bulan yang lalu. Sebuah laptop
mini yang semakin hari kian membuat Willy meninggalkanku. Ah, sial. Aku tidak
tahu apa yang mereka lihat. Yang jelas, mereka nampak bersemangat.
Tidak lama,
Willy menutup laptopnya. Mereka malah mempraktekan adegan yang aku yakin baru
saja mereka tonton. Ah, aku sungguh cemburu. Ini bukan Willy yang aku kenal
sejak dua tahun yang lalu. Sebuah malam penuh gairah serta percikan darah di
kasur Willy. Kuyakin ini sudah direncanakan. Andai saja aku sempurna. Pasti
akulah wanita pertama yang akan melakukan ini bersama Willy. Toh, kita selalu
bersama.
Ya, aku
hanyalah sebuah komputer tua yang tergantikan zaman. Kemudian, harus melihat
Willy memadu kasih dengan wanita yang dia sukai. Ini sungguh membuatku muak.
Aku kecewa pada Willy-ku.
Sebulan
kemudian, orangtuanya pulang dan dihadapkan pada sepucuk surat. Surat tersebut
berasal dari sekolah Willy. Willy terkena D.O. Ditambah lagi, kedua orang tua
Yasmin datang ke rumah dan meminta pertanggungjawaban. Yasmin mengandung anak
Willy. Kedua orang tua Willy seketika lemas. Pikirannya carut-marut. Milyaran
uang yang mereka kantongi tidak bisa menutup kesedihannya.
Aku selalu
hanya bisa menyaksikannya. Mereka sudah pasti sangat terpukul. Tetapi nasi
sudah menjadi bubur. Aku cukup berdo’a. Semoga Willy dijauhkan dari berbagai
khilaf lainnya. Dan orangtuanya segera insaf dari fananya dunia.
Biografi
Penulis
Isniyatul
Khumayah (Maya) tinggal di Jl. Raya Sokka Petanahan Kebumen, Grogol Penatus
Rt.02/Rw.02. Kuliah di IAINU Kebumen. Facebook :
Maya. Instagram : maya_khumayah
Posting Komentar