KtHx54QkBr383xDR2xK8jWF4FPsDN0wkvFCwXh9V
Bookmark

ARWAH - Cerpen Isniyatul Khumayah

Ilustrasi/Net
Oleh: Isniyatul Khumayah

Hujan, pagi dan hari Minggu. Kupastikan remaja seusiaku termakan oleh syahdunya kalbu. Bukan bangkit lalu merapikan semuanya. Bukan melipat selimut dan membuka jendela. Justru melipat otak dan membiarkan setan terbahak-bahak. “Dasar bodoh! Baru saja hujan di pagi hari sudah membuatmu lusuh”. Mungkin itu yang dikatakan setan jika kita bisa mendengarnya.

Kukibaskan pelukan hangat setan. “Bedebah! Pergi kau”. Kataku seraya berjalan melambai ke bilik kamar mandi. Wudhu. Ritual ampuh pembasmi setan. Selesai wudhu kugunakan kopiah, menggelar sajadah dan kuayunkan tangan digerakan pertama. Takbiratul Ikhram. Usai shalat aku berniat membaca larik-larik ayat Al-Qur’an. Sayangnya, aku terperangkap saat setan kembali mendekap.

***

Malam penuh warna, juga kilatan. Bukan petir namun terkadang membuat hati merasa getir. Berjuta bola penuh warna memancar ke segala arah. Ini ruang terbuka. Tapi, cahayanya mampu menyayat lensa mata. Aku membayangkan jika ini dalam ruang tertutup, dan hanya aku beserta bola-bola warna sialan itu. Kupastikan mataku akan rusak seketika.

 Sekaten. Sebuah acara rutin di alun-alun Yogyakarta setiap bulan kelahiran Kanjeng Nabi. Tidak hanya lantunan shalawat, juga kilatan lampu serta riuh redam aneka permainan tidak terlewat. Biasanya, acara diselenggarakan satu bulan penuh. Gebyar kegembiraan bagi seluruh warga Yogyakarta.

Hampir seluruh lapisan masyarakat merasakan manfaatnya. Ya, seluruh sudut kota Yogya. Mulai dari pedagang, tukang parkir, sopir bus, penjual aksesoris bahkan hingga pemungut sampah. Ribuan sampah tak bertuan kesepian bersama angin malam yang berhmbus pelan. Tiba saatnya pak pemungut sampah beraksi. Pak Badrun namanya. Dia setia dengan profesinya sejak aku masih duduk di bangku taman kanak-kanak.

Selayaknya anak muda kebanyakan, aku dan kelima temanku datang ke acara sekaten. Sebagai anak muda, bukan penjual makanan atau aksesoris yang kami incar. Tetapi sebuah gitar. Gitar Sepanyol. Wanita cantik dengan lekuk tubuh aduhai. Ah, indah sekali.

Kali ini setan kalah. Aku menyadari dia cemburu dan berlari menghindariku. Aku tetap shalat maghrib dulu sebelum kulayangkan mataku untuk mencari gitar. Malam ini aku berjama’ah. Sebagai imam. Lima pandhawa berjejer merapikan shaf dibelakangku. Kumulai shalat dan seketika lenyaplah bayang-bayang puluhan gitar yang sempat meracuni nalar sehatku.  

Tanpa basa-basi, kami berenam segera bercengkrama dengan keramaian. Malam ini, alun-alun Yogyakarta padat manusia yang sibuk berjalan berhimpit. Juga penuh pinggul-pinggul yang bersenggolan. Sempit.

Tas punggung hitam yang aku pakai segera aku pindahkan sebagai penutup dada. Aku peluk dengan nyaman. Sebenarnya bukan itu tujuannya, tetapi menjaga barang berharga dari para perampok berwatak singa. Mencopet dalam keramaian pun berani. Apalagi dalam sepi?

Namanya juga laki-laki, terhanyut dalam gelombang ratusan nyawa saja masih awas terhadap wanita cantik. Ya, aku melihat wanita berjilbab merah dengan baju hitam ditemani celana jeans. Cantik. Menawan. Aduhai. Puluhan bahkan ratusan kata-kata pujian menari-nari diotakku. Sepertinya mereka ingin segera keluar dari mulut buayaku.

Kuterjang ratusan nyawa bertuan itu tanpa lelah. Tidak sedikitpun aku lepaskan pandangan mataku padanya. Bahkan aku tidak peduli lagi dengan kelima pandhawa yang berangkat bersamaku. Otakku mulai licik. Kini setan bermain dengan sempurna di otakku.

Semakin dekat, terlihat jelas kecantikan wanita berjilbab merah itu. Matanya sayu seperti lilin tertiup angin. Bulu matanya lentik. Sepertinya dia orang yang amat ramah dan berperangai baik. Pipinya mengembang dengan sempurna. Ya, sesuai takaran. Pas. Bibirnya tipis dan merona. Ah, dia wanita yang istimewa. Sama seperti Yogyakarta.

Mataku terlalu fokus menggerayangi seluruh bagian tubuh nona cantik yang berbulu mata lentik. Rasanya aku sedang meminum berliter-liter bir. Pulang dari bar dan berjalan sempoyongan. Tujuanku hanya satu. Mengejar wanita cantik itu. Hingga aku tidak sadar, ternyata aku keluar dari arena wahana sekaten.

Namun langkahku tertahan. Berat. Tangan Arman mencengkeram kuat bahuku. “Keparat! Jangan halangi aku! Aku harus bertemu wanita cantik itu!” bentakku. “Wanita siapa? Sepertinya kau perlu kupukul botol!” Arman balik membentakku. Arman tidak aku hiraukan. Mataku tidak bisa lepas dari bayang-bayang wanita di ujung jalan sana.

Tiiiiiiiiiiit....................Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittttttttttttttttttttt...............!!!!!!!!!!!!!!
Gedubraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkkkkkkk!!!!!!!!!!!!!

Ratusan orang menghampiriku. Rupanya, sebuah mobil menabrakku. Tapi aku merasa tidak apa-apa. Justru aku berlari mengejar mobil yang menabrakku. Aku terus berlari sejauh kaki masih kuat menapaki aspal malam yang sunyi. Sepi. “Ah, aku kehilangan mobil sialan itu. Bedebah!”. Kesal bercampur lelah. Aku bahkan banyak mengumpat malam itu. Akhirnya kuputuskan untuk berbalik arah dan pulang ke rumah.

Ojek malam, taxi dan seperangkatnya tak menghiraukanku. Kupanggil setiap yang lewat, tetap saja mereka acuh. Rasanya malam ini begitu menyebalkan. Pertama, aku kehilangan wanita cantik yang kuincar. Kedua, aku kehilangan mobil bajingan itu. Dan sekarang, aku harus menapaki panjangnya jalan yang tak sempat aku ukur.

***

Kurang lebih setengah jam kususuri jalanan yang sepi, bahkan seperti kota mati. Setelah sampai di pertigaan jalan menuju rumah, kulihat bendera putih melambai-lambai terbawa angin yang sepoi-sepoi. Rasa heran, takut bercampur menjadi satu. Hanya satu pertanyaanku. Siapa yang meninggal?

Kupercepat langkahku. Sampai di halaman rumah, aku melihat Ibu bersender di pundak Ayah seraya menangis tanpa henti. Aku merasa lega. Setidaknya, bukan kedua orang tuaku yang meninggal. Aku mencoba bertanya. Sayangnya, mereka tak menjawabku. Mungkin mereka teramat jatuh dalam kesedihan.

Aku berlalu, kemudian aku masuk. Seorang laki-laki tua renta dan perempuan sebayanya menangis bersauran di dekat jenazah yang tertidur kaku. Wajahnya ditutupi selimut jarik dengan hiasan batik yang indah. Aku tidak bisa membukanya. Lagi-lagi aku merasa lega. Bukan orang tuaku, juga bukan Kakek dan Nenekku. Tapi, siapa? Bukankah tidak ada lagi yang tinggal disini selain mereka dan aku?

Aku?

Rasa penasaran memenangkan perseteruan hatiku. Kuberanikan diri membuka kain yang menutup wajahnya. Pelan-pelan aku buka kainnya, mulai terlihat jidatnya. Aku belum paham. Kubuka seluruh penutup wajahnya. Sontak aku berteriak histeris. Bukan orang lain yang aku temukan. Tapi wajahku. Diriku sendiri yang sudah mati. “Tidaaaaaaaaak!” aku menjerit sekuat tenaga. Menangis sekuatnya tanpa didengarkan. Terbujur lemah tanpa ada yang menguatkan. Dan terus bertanya meski tanpa jawaban.

***

Mentari mulai berjalan perlahan. Pelukan setan mulai memudar. Tanpa aba-aba aku segera membuka mata. Seketika itu aku mencubit pipiku sendiri. Entah untuk meyakinkan atau membangunkanku dari buaian mimpi. Untunglah, aku segera terbangun. Dan semua ini hanya mimpi. Tuhan! Ampuni aku, terimakasih.



Biografi Penulis
Isniyatul Khumayah (Maya) tinggal di Jl. Raya Sokka Petanahan Kebumen, Grogol Penatus Rt.02/Rw.02. Kuliah di IAINU Kebumen. Facebook : Maya. Instagram : maya_khumayah

Posting Komentar

Posting Komentar